Mohon tunggu...
Latip 28
Latip 28 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lelaki yang belajar untuk menjadi ayah, juga suami

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Denny Cagur dan Bolot

6 Mei 2014   22:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak mengenal Denny Cagur? Wajahnya selalu menghiasi televisi kita dari pagi, siang bahkan sampai mlama. Iklan, acara komedi sampai acara musik menggunakan jasanya. Konon, Cagur adalah kependekan dari Calon Guru. Mungkin, sekiranya popularitas tak ia raih, saat ini mereka menjadi pendidik yang baik di tempat menuntut ilmu.

Malam itu, saya tak melihat sosok Denny sebagai calon guru di program (yang katanya) nomor satu. Denny layaknya pelawak masa kini yang dituntut untuk melucu setiap waktu, tanpa jeda. Tak heran jika lawakannya cenderung sama, bahkan tak jarang menjurus pada penghinaan fisik seseorang. Kehabisan idekah? Atau justru itu yang kini laku di industri televisi kita?

Malam itu, Denny mulai menyebut Daus Mini sebagai 'calon d*da cilik'. Itu hanya permulaan, denny kembali mencela bahkan mengatai Daus Mini dengan hal-hal yang sungguh tak pantas ditonton, apalagi oleh anak-anak yang bisa saja meniru tindakan itu. Dalam beberapa tayangan, saya juga melihat Denny sering berlaku kasar, baik secara fisik maupun verbal. Penonton tertawa, semua orang dibuat senang dengan lawakannya itu. Saya pikir,  tak pantas rasanya hal itu dilakukan oleh siapapun, apalagi seorang calon guru.

Tak suka dengan lawakan tersebut, saya mengganti channel. Dalam hati kecil saya, saya berharap masih ada tontontan yang bisa menjadi tuntunan, setidaknya bisa kita tonton. Saya menemukan acara baru yakni kompetisi calon komedian. Saya baru tahu ada acara tersebut. Maklum, channel ini sudah lama 'hilang' dari ingatan saya sejak adanya serbuan naga dan elang. Ternyata sama, sama-sama menjadikan fisik seseorang sebagai bahan lawakan. Dan disini, orang yang menjadi bahan lawakan adalah Omaswati. Lawakan..., bukan tak pantas rasanya disebut sebagai lawakan, lebih tepatnya celaaan demi celaan terlontar. Hingga akhirnya Bolot berpendapat bahwa di acara komedi lain sudah banyak yang menjadikan fisik seseorang sebagai bahan lawakan, seharusnya di acara ini jangan seperti itu.

Awalnya, saya mengira akan ada kelanjutan dari komentar tersebut. Saya mengira akan seperti lawakan yang dilakukan pelawak yang suka menghina fisik seseorang, terkesan membela kemudian menjatuhkan lagi. Ternyata tidak demikian. Kali ini Bolot melakukan hal yang benar, sebagai senior, sudah saatnya ia mengarahkan juniornya agar lawak  bisa kembali ke tempat yang benar. Bukan menertawakan orang yang dipukul dengan styrofoam, bukan pula menertawakan orang yang dicemongin dengan pewarna, bukan pula menertawakan orang-orang yang luluri cream yang seharusnya buat makanan/minuman. Kita bisa tertawa dengan data dan survei yang disajikan Cak Lontong, kita bisa terbahak-bahak dengan celetukan spontan Komeng. Dan sepertinya harus mengernyitkan dahi, berpikir keras apakah kita harus tertawa dengan lawakan yang menjadikan fisik seseorang sebagai bahan lawakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun