Tiga anggota keluarga itu duduk bersebelahan di sofa. Suara radio dikecilkan, menambah tegang atmosfer di ruang tamu. Maurin menggigiti bibirnya, memainkan ujung piyamanya resah.
“Kamu itu harusnya bantu kakakku. Dia kan juga keluargamu, dan dia lagi sakit! Sampai kapan kamu pikirkan dirimu sendiri terus?!” Mama lagi-lagi mengkritik Papa.
Papa terdiam. Tanpa sedikit pun memandang wajah istri dan putri semata wayangnya. Egois, label yang sering kali diberikan Mama untuk Papa.
“Kamu ke luar kota itu, sambil mengurusi kepentinganmu, urusi juga Riyadi. Dia butuh bantuan dan support kita semua. Bahkan kalau bisa, kamu ke rumahnya dan bantu rawat Arif di sana. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana kondisi keluarga mereka saat ini?” lanjut Mama. Belum puas mengkritisi sikap Papa.
“Anak itu pasti terlantar. Mengertilah...sedikit saja.”
Hening. Maurin makin gelisah. Sesekali diliriknya Mama dan Papa. Perdebatan Mama-Papa sering menjadi inspirasi baginya. Banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari perdebatan kedua orang tuanya.
“Al-Qur’an itu mengajarkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Kamu tidak ingin berbuat baik? Kamu tidak ingin menolong orang? Apa pikiranmu hanya terfokus untuk kepentinganmu sendiri? Keadaanmu jauh lebih baik dari pada Riyadi. Kamu hanya mengalami kenaikan kadar Glukosa dalam darahmu. Sedangkan dia...?”
Mama menggantung kalimatnya. Tanpa perlu diteruskan, mereka pun tahu seperti apa kondisi dari putra pertama almarhumah Eyang Putri sekaligus ayah angkat Arif itu. Dalam hati, Maurin bertanya-tanya. Mengapa Papa sejak tadi diam saja? Jika Papa mau, bisa saja beliau membela diri.
Sepasang mata biru itu melirik tajam wajah sang Papa. Tiap kali melihat Papa, yang ia lihat Albert. Keduanya mempunyai kemiripan. Maurin tahu itu.
“Aku tidak bisa...” Akhirnya Papa angkat bicara. Mama menatapnya kecewa.
“Astaghfirulah al-azhim, hanya menolong Riyadi saja tak bisa. Kamu memang tidak punya hati ya. Kemana nuranimu? Belajar hidup seimbang. Kepentingan pribadi dipikirkan, kepentingan orang lain juga dipikirkan. Gusti...nyuwun ngapuro. Mudah-mudahan anakku tidak seperti Romonya. Aku kecewa sama kamu!”