Jodoh, rezeki, dan maut telah diatur Tuhan. Jika dianalogikan, dunia ibarat ruang tunggu. Kehidupan hanya sementara. Cepat atau lambat, kematian akan menghampiri tiap makhluk yang bernyawa.
Tak mudah merelakan kematian orang yang dicintai dan disayangi. Jalan satu-satunya adalah ikhlas. Agar jalan mereka di alam kubur tak terhalangi dan mereka bisa beristirahat dengan tenang.
Minggu lalu, saya kembali kehilangan orang yang saya sayangi. Kali ini teman saya dari Komunitas Bisa. Saya biasa memanggilnya Mas Gandhi. Dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan Limfoma, kanker getah bening.
Sebelumnya, saya bahas sedikit tentang Komunitas Bisa. Komunitas Bisa merupakan akronim dari Bangkitkan Inspirasi Anak Bangsa. Pembentukannya diilhami oleh Kelas Inspirasi. Mungkin Kompasianer pernah dengar tentang Kelas Inspirasi? Gerakan para profesional muda yang digagas dari Indonesia Mengajar. Para profesional muda itu turun ke sejumlah SD untuk memotivasi dan memperkenalkan profesi mereka pada anak-anak. Nah, Komunitas Bisa ini mempunyai agenda kegiatan yang mirip dengan Kelas Inspirasi. Namanya Hari Berbagi. Kami cuti satu hari dari segala kesibukan dan rutinitas, lalu mendatangi sekolah terpencil di wilayah Bandung untuk mengajar serta memotivasi para murid di sana.
Saya mengenal Mas Gandhi setahun lalu. Tepatnya sejak bergabung di Komunitas Bisa. Ia pria sukses dan mapan dalam usia muda. Kemahirannya dalam public speaking membuatnya ditunjuk sebagai MC. Lebih istimewa lagi, ternyata Mas Gandhi pernah mengikuti Mojang Jajaka. Alhasil kami duduk bersama sepanjang brieffing dan waktu istirahat sambil membicarakan dunia pageants dan pemilihan duta.
Saya mengenal Mas Gandhi sebagai pribadi yang baik hati, berbakat, dan penuh perhatian. Sifat ceria dan humorisnya membuat ia mudah akrab dengan siapa saja. Salah satu hobinya adalah traveling. Saya suka itu.
Di balik keceriaannya, tersimpan kisah sedih. Saya tahu jika ia pernah menikah dan pernikahannya berakhir dengan perceraian. Iba dan tersentuh hati saya mendengarnya. Siapa wanita yang telah menyia-nyiakan cinta dari pria sebaik itu?
Ketika mendengar kabar sakitnya Mas Gandhi, terus terang saya tak percaya. Benarkah pria seceria dan seenerjik itu bisa sakit? Terlebih bukan penyakit biasa yang dideritanya. Saya berdoa agar Tuhan menyembuhkannya, meringankan penyakitnya, dan membahagiakannya.
Di sela aktivitas doa, sebersit firasat muncul di hati kecil saya. Firasat bahwa dia akan sembuh, penyakitnya akan diangkat, namun dengan cara lain. Saya kebingungan. Ingin rasanya mengabaikan pertanda itu, namun tak bisa. Hadirnya firasat itu terlalu kuat. Untuk menutup mata batin pun tak mungkin. Mata batin tak bisa diperintah. Jika Tuhan menghendaki untuk melihat, maka akan diperlihatkan. Jika tidak ya tidak.
Begitu tahu Mas Gandhi sudah tiada, saya sedih. Saya menangis. Lagi-lagi saya kehilangan orang yang saya sayangi. Sejak tahun 2015, berulang kali saya kehilangan orang baik yang tulus dan saya sayangi. Orang baik mungkin banyak, tapi orang baik yang tulus sangat sedikit. Kehilangan ini membuat saya berpikir, siapa lagi yang akan pergi dari hidup saya? Tiap kali kehilangan datang, rasa kesepian dan ketakutan menyergap hati saya. Saya merasa sendiri.
Kehilangan orang yang disayangi memang berat. Namun, akankah kesedihan akibat kehilangan dibiarkan berlarut-larut? Tidakkah itu akan menyulitkan orang yang kita sayangi di dalam kuburnya? Apa yang harus kita lakukan untuk mengikhlaskannya? Mengikhlaskan orang yang sudah meninggal tak mudah. Butuh proses yang panjang. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa sama sekali.