Sebagai anak bungsu, Rosie selalu berada di bawah bayang-bayang keempat kakaknya. Leo, Sofia, Karin, dan Aprilia selalu mem-bullynya. Mereka tak mengerti perasaan Rosie tiap kali di-bully. Mereka tak pernah mengerti bahwa Rosie tipikal anak yang sensitif dan mudah tersinggung.
Alhasil Rosie menjauhi keempat kakaknya. Ia lebih suka menyendiri. Menutup diri adalah jalan terbaik. Meski demikian, Rosie tetap mempunyai kepedulian tinggi terhadap Leo, Karin, Sofia, dan Aprilia. Ia berbuat baik pada keluarga dan orang-orang yang dicintainya dengan caranya sendiri. Rosie memiliki cara tersendiri untuk menyayangi mereka.
Bundanya salah paham. Bunda mengira bila Rosie membenci kakak-kakaknya. Lebih parah lagi, Karin menuduhnya egois dan keras hati. Bundanya membenarkan pernyataan Karin.
Mendengar itu, Rosie sakit hati. Ia sedih dan marah. Rosie tak terima disebut egois dan keras hati. Terpaksa ia mengungkapkan beberapa kebaikan yang telah dilakukannya. Sebab Rosie suka bertindak di belakang layar. Dalam hati, Rosie takut jika ia tidak ikhlas berbuat baik karena semua kebaikannya diungkapkan. Namun ia sudah tak tahan.
Saat itulah mereka tahu bahwa selama ini Rosie berusaha melindungi keluarganya dari upaya pemerasan, pemanfaatan fasilitas, dan pemaksaan dari pihak luar. Rosie pun tengah berusaha mencarikan jodoh untuk Karin. Sebab Rosie memahami keinginan Bundanya. Bunda menginginkan Karin untuk segera menikah.
Setelah mengungkapkan semua itu, Rosie makin kecewa. Ternyata orang tua dan keluarganya sendiri tidak mengenal ia sepenuhnya. Bahkan Bunda percaya saja saat Karin mengatainya egois. Rosie merasa dirinya tidak berguna, tidak diinginkan, tidak dimengerti, dan tidak dihargai. Bunda dan Ayah terlalu sibuk mengenal dan memahami keempat kakaknya. Sementara Rosie sama sekali tak dikenali oleh mereka.
Tengah malam, ketika semua orang sudah tertidur, Rosie berdoa pada Tuhan. Berkeluh kesah pada-Nya. Memohon satu hal agar kelak ia mempunyai anak tunggal. Rosie menganggap anak tunggal adalah jalan terbaik untuk menghindarkan si anak dari konflik, bullying, fitnah, dan adu domba antarsaudara. Selain itu, Rosie akan lebih fokus mengenali dan memahami bila hanya memiliki satu anak.
Kasus di atas cukup kompleks. Anak yang di-bully saudara-saudaranya, ibu yang tidak meluruskan ketika salah seorang anak menuduh saudaranya mempunyai sifat buruk, dan orang tua yang tidak sepenuhnya mengenali karakter anak. Poin terakhirlah yang saya garisbawahi.
Mempunyai ikatan biologis dan hidup bersama tidak menjamin orang tua bisa mengenal karakter anak. Sering kali orang tua tidak mengerti kondisi emosi anak. Sikap otoriter membuat orang tua tidak memahaminya. Pemegang kekuasaan dan kekuatan terbesar di rumah adalah orang tua, atau orang yang memberikan biaya hidup untuk keluarga. Otoritas semacam itulah yang membuat orang tua kerap kali meremehkan perasaan anak.
Setiap anak terlahir dengan karakter yang unik dan khas. Orang tua tidak bisa memaksakan anak harus memiliki karakter/sifat yang didambakannya. Ada anak yang sensitif, mudah tersinggung, perasa, lemah lembut, angkuh tapi perhatian, introvert, ekstrovert, suka berbuat kebaikan di belakang layar, dll. Ada pula anak yang terlihat kuat namun sesungguhnya sangat rapuh. Anak yang dari luar periang belum tentu sepenuhnya bahagia. Bisa saja ia menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman, atau eccedentesiast. Anak yang terlihat ekstrovert dan supel, Â tapi sebenarnya sangat tertutup dan sensitif. Anak yang dipandang egois dan keras hati, ternyata justru paling lembut dan baik hati di antara saudara-saudaranya. Dari luar si anak terkesan arogan dan pemarah, sesungguhnya ia penolong dan solid.
Apa yang terlihat dari luar belum tentu benar. Perlu pemikiran luas bagi orang tua untuk melihat bagaimana sifat anak sesungguhnya. Orang tua yang berpikir sempit kesulitan mengenali kepribadian anaknya.