Seorang anak lahir dari hubungan terlarang. Anak laki-laki itu diadopsi oleh keluarga baik-baik. Ia dibesarkan di lingkungan yang baik.
Dari luar, tak ada yang salah. Bahkan anak itu cukup tampan. Namun, perlahan-lahan rahasia seputar jati dirinya terbongkar. Akhirnya semua orang tahu status anak itu.
Anak lelaki itu masih terlalu kecil. Ia sudah menerima caci-maki dari sepupunya sendiri terkait statusnya. Peristiwa itu membuat si anak jatuh sakit. Kondisi kesehatannya menurun. Jiwa anak itu terguncang. Meski demikian, kedua orang tua dan keluarganya yang lain bertekad menjadikan anak itu sebagai pribadi yang baik. Anak itu selamanya akan menjadi bagian dari keluarga mereka, apa pun statusnya.
Tak sedikit anak yang mengalami hal seperti ilustrasi di atas. Terhalang untuk menjadi baik hanya karena status dan asal-usulnya. Lingkungan tidak bisa menerimanya dengan tangan terbuka.
Coba kita lihat dari posisi anak itu. Tempatkan diri kita di posisi anak itu. Bisakah anak memilih siapa orang tuanya? Bisakah anak menentukan keluarga mana tempat dia dilahirkan dan dibesarkan?
Jika anak dibolehkan memilih, tentu dia akan memilih keluarga yang terbaik. Keluarga yang kaya, orang tua terhormat, lingkungan yang kondusif dan religius. Kondisi fisik yang sempurna tanpa kekurangan.
Namun anak tidak pernah bisa memilih. Mereka hanya bisa menerima dan menjalani kehidupan di tempat yang telah ditentukan. Ada anak yang terlahir di keluarga kaya, ada pula anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ada anak yang terlahir dari keluarga Muslim, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Ada anak yang terlahir dari keluarga berdarah biru, Tionghoa, Timur Tengah, Indo-Eropa, atau dari keluarga berdarah murni Indonesia. Ada pula anak yang beruntung terlahir dari wanita baik, berpendidikan, dan religius. Sementara di belahan dunia yang lain, ada anak yang terlahir dari rahim seorang wanita yang setiap aspek dalam dirinya jauh dari nilai-nilai pendidikan, moralitas, dan spiritualitas.
Kelahiran, ras, dan keturunan memang tidak bisa dipilih dan ditentukan masing-masing anak. Namun anak berhak memilih dan menentukan jalan hidupnya. Anak bebas menentukan dirinya akan menjadi apa nantinya. Profesi, agama yang dipeluk, pasangan hidup, atau prinsip hidup. Anak mempunyai hak prerogatif untuk memilih. Jika ia sudah dewasa, ia akan mampu menentukan mana yang terbaik.
Asal-usul dan status seorang anak bukan jaminan masa depannya. Seorang anak yang terlahir dari hubungan terlarang belum tentu menjadi anak yang jahat dan pendendam. Ia bahkan berpotensi besar untuk menjadi anak baik. Anak baik dengan pribadi ideal yang membanggakan keluarganya. Anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa melihat, mendengar, berbicara, berjalan, atau mengalami kelainan mental tak selamanya menjadi beban dan hanya bisa menyusahkan orang lain. Bila dididik dengan baik, mereka bisa tumbuh menjadi anak-anak baik dan istimewa. Istimewa di sini bukan berarti istimewa karena kekurangan mereka. Melainkan istimewa karena kelebihan mereka.
Kepribadian anak bisa dibentuk. Pada dasarnya, setiap anak terlahir dengan hati yang baik. Apa pun status mereka. Bagaimana pun asal-usul mereka. Tergantung bagaimana lingkungan dan didikan keluarga mempengaruhi mereka.
Pada kasus anak hasil hubungan terlarang dan anak berkebutuhan khusus, awalnya memang tidak mudah. Stigma negatif terlanjur melekat dalam diri mereka. Banyak label kurang baik disematkan pada mereka.