Detak jarum jam begitu lambat. Malam merambat mendekati pagi hari. Di keheningan malam itu, Renna masih terjaga. Bergelut dengan dua pilihan.
Lekat ditatapnya wajah pendamping hidupnya. Saat sedang tidur pun, Albert tetap tampan. Meski tersisa gurat keletihan di wajahnya. Selebihnya, ia adalah sosok pria yang rupawan dalam keadaan apa pun.
Digerakkan syaraf sadarnya, Renna mengulurkan tangan. Membenahi selimut Albert. Membelai lembut rambutnya. Mencium keningnya. Mungkin karena terlalu lelah, Albert tak terbangun mendapat sentuhan Renna.
“Aku mencintaimu...sangat mencintaimu.” bisik Renna.
“Lebih baik aku menjadi orang biasa tapi tidak kesepian dan dicintai oleh orang yang kucintai. Jadi orang biasa itu jauh lebih baik. Tak perlu lagi aku menjadi psikolog, hypnotherapyst, atau profesi apa pun yang membuat namaku terkenal. Asalkan aku bisa terus bersamamu. Terus mencintai dan dicintai olehmu.”
Renna tersedu. Membenamkan wajah di balik bantalnya. Terjebak dalam pilihan sulit. Bodohkah bila ia rela melepas kariernya demi cinta? Akan tetapi, ia ingin berada di sisi Albert. Merawatnya, mendampinginya, dan membantunya sampai ia sembuh. Entah kapan Albert akan sembuh. Mungkin saja ia takkan bisa sembuh lagi. Renna siap dengan risiko terburuk. Jika Albert tidak ditakdirkan untuk sembuh, ia hanya ingin mendampingi Albert melewati sisa hidupnya. Ia ingin memastikan Albert tidak merasakan sakit sendirian. Itu saja.
Kotak ingatan Renna terbuka. Kenangan semasa awal kariernya sebagai psikolog dan hypnotherapyst muncul. Begitu pula kenangannya saat ia masih menjadi mahasiswi Psikologi yang populer karena kecantikan, prestasi, dan keaktifannya.
**
Satu hal yang bodoh
Bila ku memikirkanmu
Bila ku mencintaimu