Dear Malaikat Izrail, aku kecewa sama orang dewasa. Ribet, suka berantem, dan nggak suka sama yang beda-beda. Aku baru tahu kalau ada orang dewasa yang tega pisahkan anak kecil dari sahabatnya hanya karena beda. Aku nggak mau jadi orang dewasa.
Kompasianer, masih ingat kutipan surat di atas? Itu adalah kutipan dari Novel Dear Malaikat Izrail. Hampir setahun sejak Dear MI pertama kali tayang di Kompasiana sebelum akhirnya diterbitkan.
Young Lady cantik mengajak Kompasianer menyelami makna toleransi lewat cerita Jose Gabriel Calvin dan keempat sahabatnya. Jose, putra tunggal Ayah Calvin, sang wakil ketua kelas merangkap idola cilik atau bintang cilik berhati lembut dan toleran. Dia menjalin persahabatan dengan anak-anak beda etnis dan keyakinan. Lantaran hidup bersama sahabat dan ayah yang memiliki penyakit darah, bocah tampan bermata sipit itu terlatih untuk perhatian pada orang-orang special needs. Kelak di novel lanjutan Dear MI, Jose Gabriel mewarisi kondisi yang sama dengan ayahnya. Kata "Calvin Wan" malaikat tampan bermata sipitku, Dear MI adalah kisah di rangkaian Calvin Wan series yang paling bermakna.
Menulis Dear MI serasa kembali bernostalgia ke masa kecil. Karantina untuk mengikuti kompetisi, memiliki sahabat masa kecil beda keyakinan, ikut berbagai kompetisi bersamanya hingga ke berbagai kota (mulai dari menyanyi hingga olimpiade), bullying soal warna mata yang berbeda, dan masih banyak kenangan lainnya.
Young Lady masih ingat betapa susahnya mencari penerbit yang mau menerbitkan Dear MI. Naskah buku anak yang terbilang sensitif ini ditolak penerbit besar semacam KKPK Mizan dan penerbit menengah sekelas Cikal Aksara. Sensitif? Ya, sensitif karena di dalamnya terdapat tragedi terorisme. Dear MI melawan trend buku anak di Indonesia yang identik dengan pesan moral, cerita sederhana, dan minim tragedi. Padahal, bukankah anak-anak juga manusia? Mereka bisa sedih dan mengalami kejadian tragis.
Maybe novel Dear MI setipe dengan Na Willa karya Reda Gaudiamo. Novel anak yang mengangkat isu sensitif berupa rasisme dan menuangkan tragedi di dalamnya. Na Willa dan Jose, potret anak-anak minoritas yang terpapar isu sensitif hanya karena mereka berbeda.