Pagi-pagi sekali kukirim e-mail untuk Frater Gabriel. Usai shalat Subuh, aku membuka laptop dan tergerak untuk curhat. Beban menyakitkan menghimpit dadaku.
Aku mengetukkan jemariku ke papan keyboard. Aku tak berharap Frater Gabriel membalas e-mailku. Dia, kan, sibuk. Belum lagi, waktunya di Seminari harus dibagi antara hidup rohani, hidup berkomunitas, dan tugas perutusan.
Iseng aku browsing hal-hal lain. Aku mendownload lagu, menonton video yang kusuka, dan membaca cerita di platform daring. Ketika aku bersiap menutup browser, aku mengecek e-mail sekali lagi.
Aku tersentak kaget. Ada balasan dari Frater Gabriel. Bukankah sekarang waktunya ibadat pagi? Ah, peduli amat. Aku baca dulu saja e-mailnya.
Dear Silvi,,
Aku ikut sedih. Semoga Papamu segera memaafkanmu.
Tidak ada yang salah, Silvi. Wajar bila kamu dan Ayahmu ingin menghabiskan waktu bersama. Wajar bila Ayahmu ingin memberi kejutan. Begitulah caranya mengekspresikan kebanggaan.
Soal Papamu yang gagal memberi kejutan dan marah, menurutku itu karena dia merasa tidak dihargai. Bayangkan, ketika kamu ingin memberi hadiah pada seseorang. Lalu orang itu menolak hadiahmu. Bagaimana perasaanmu? Tidak semua maksud baik dapat diterima dengan tangan terbuka, Silvi.
Sabar ya. Kemarahan datang dan pergi pada waktunya. Cinta kasih akan memadamkan amarah. Semarah apa pun Papamu, dia tetap mencintaimu.
Salam hangat,
Gabriel