Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rutin Berkompasiana, Mengalihkan Rasa Sakit Jam 6 Pagi

10 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 10 Agustus 2019   06:17 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku mau berdoa dulu." Seseorang berkata dingin pada Young Lady.

Klik. Telepon terputus. Young Lady terenyak. Hati terasa dihantam barbel. Tak masalah bila bukan yang terdekat. Tetapi yang mengucapkannya adalah yang terdekat. Dan lebih parah lagi, sosok itu terang-terangan membuka tabir yang paling menyakitkan Young Lady cantik. Apa yang bisa dilakukan Young Lady selain meneteskan air mata dalam diam?

Empat bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Mungkin kejadian biasa bagi orang dengan perasaan biasa. Namun, lain ceritanya bila pengalaman itu menimpa perasaan yang telah terlanjur tercabik luka. Kejadian itu berlangsung pukul enam pagi. Unwanted? Of course. Displaced? Certainly. Yang jelas, Young Lady menolak lupa.

Sejak saat itu, Young Lady cantik tak bisa lagi merasakan damai dan bahagia di jam yang sama. Pukul 6 pagi menyimpan kesuraman dan ketakutan terdalam. Pagi, yang identik dengan semangat baru, berubah gloomy.

Pas sekali dengan jadwal tayang tulisan cantik di Kompasiana. So, Young Lady bersyukur karena tiap pukul 6 pagi selalu ada kesibukan berkompasiana. Blogwalking menyita pikiran dan waktu. Praktis kesedihan sedikit teralih.

Bukan, berkompasiana tiap pagi kini bukan lagi sekedar meraih keterbacaan tinggi. Motivasinya telah bergeser: untuk mengalihkan sakit hati walau tak optimal.

Apakah rasa sakitnya hilang begitu saja? Jelas tidak. Rasa sakit itu tetap terasa. Terlebih bila ingatan yang membuat trigger itu menyeruak lagi. Kalau tidak blogwalking pukul 6 pagi, yang terjadi adalah tenggelam dalam kesedihan dan terbawa cabikan luka lama.

So, ada poin penting yang bisa disoroti dari sini: Kompasiana sebagai wadah pengalihan rasa sakit. Kita tentunya tahu, Kompasiana punya keajaibannya sendiri. Bukti keajaiban Kompasiana masih ada, masih eksis untuk terus menginspirasi. Ia seorang stroke surviver. 

Kompasianer satu itu melawan strokenya dengan menulis di Kompasiana, bahkan sudah membuat 22 buku. Sebutlah itu keajaiban Kompasiana. Ajaibnya Kompasiana yang tidak bisa dilakukan media sejenis.

Semoga keajaiban Kompasiana berlaku pula untuk para penyintas lainnya. Bukan hanya stroke tentunya, tetapi penyintas berbagai macam kondisi fisik dan mental. Bentuk keistimewaan Kompasiana yang takkan terganti di media warga lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun