Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Pengantar Bunga Misterius

15 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 15 Juli 2019   06:01 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar Bunga Misterius

"Nah...anak nakal, sekarang pilih. Mau menginap di rumahku atau di rumah Paman Revan?" tawar Paman Adica.

Jose melipat dahi. Kenapa malam ini dia tidak boleh tinggal bersama Ayah-Bundanya? Pilihan yang aneh.

Silvi melompat ringan ke sampingnya. Gaun putihnya melambai. Dipegangnya tangan sepupunya erat.


"Di rumahku aja ya. Sekalian nemenin aku...mau ya? Ya ya yaaaa?" bujuknya. Sukses dihadiahi tatapan tajam Paman Adica.

"Hmmmm..." Jose menatap Silvi, Paman Revan, dan Paman Adica bergantian.

"Aku mau sama Ayah dan Bunda."

Spontan Paman Adica dan Paman Revan menggeleng. Mereka sudah berjanji pada Ayah Calvin. Tidak, Jose tidak boleh bersama pengantin baru.

"Jangan ganggu Ayah Bundamu dulu, Nak." Paman Revan memberi pengertian sesabar mungkin.

Mata Jose membulat tak senang. Jadi, dirinya mengganggu? Agak sakit hatinya dibilang pengganggu. Memangnya Jose sejelek itu?

"Jose mau ikut Paman Adica," putusnya. Bergerak ke sisi pria berjas grey itu.

Paman Adica menyeringai penuh kemenangan ke arah Paman Revan, lalu membawa Jose pergi. Sedikit sesal berdenyut di hati Paman Revan. Tadi ia salah bicara. Silvi melambai sedih pada SUV putih yang melaju pergi meninggalkan debu.

Sementara itu, Paman Adica berusaha menghibur hati Jose. Dialihkannya anak itu dari rasa rindu pada Ayah Bundanya. Paman Adica memutarkan film kesukaan Jose di TV mobilnya. Ia juga bercerita banyak hal. Celakanya, Jose tak mudah dialihkan. Sebentar-sebentar dia menanyai dimana Ayah Calvin dan Bunda Alea.

"Mereka lagi honeymoon," ceplos Paman Adica tanpa sadar.

"Honeymoon? Apa itu?" Jose mengangkat alis, baru sekali mendengarnya.

"Honeymoon itu...semacam liburan. Ya, liburan. Pasangan yang baru menika hibluran berdua. Anak kecil nggak boleh ikut." jelas Paman Adica terbata.

Jose mengangguk. Hmmmm, rupanya Ayah Calvin dan Bunda Alea sedang liburan. Baiklah, Jose takkan merusak kebersamaan mereka. Anak baik tahu cara membahagiakan orang tuanya.

Tapi...

Bukankah besok jadwalnya terapi? Siapa yang akan menemani Jose phlebotomy?

**  

Pertanyaan itu jugalah yang mengganjal di hati Bunda Alea setiba di hotel. Hotel ini berbeda dari venue tempat resepsi berlangsung. Ayah Calvin mengatur semua yang terbaik untuk mereka malam ini.

Bunda Alea mengedarkan pandang ke sekeliling presidential suite tiu. Sofa empuk, furniture berdesain premium, interior klasik, dan kamar amndi bernuansa hitam-emas. Semua ini terlalu mewah untuk dinikmati tanpa eksan. Mungkinkah Ayah Calvin berharap lebih?

"Alea, menikah denganku sama artinya memutus keturunan. Kau sudah tahu, kan?" ujar Ayah Calvin lembut, seolah bisa membaca pikirannya.

"Ya. Terima kasih atas pengertianmu. Dan kukira...Jose sudah cukup." sambut Bunda Alea hangat.

Lega hati Bunda Alea. Dilangkahkannya kaki ke kamar mandi. Melepas gaun pengantinnya, dan menggantinya dengan baju yang lebih casual. Makin besar cintanya pada Ayah Calvin. Suaminya itu tak ingkar janji.

Selesai berganti baju, Bunda Alea mendapati suaminya terduduk di sofa dengan wajah pias. Gurat penyesalan tergambar jelas. Ponselnya dan ponsel Ayah Calvin tergeletak berdekatan dalam keadaan menyala.

"Calvin...are you allright?" Bunda Alea melambaikan tangan di depan wajah Ayah Calvin.

Tak ada jawaban. Bunda Alea mengulangi, lebih sabar.

"Hei Sayang...Calvinku. Kamu kenapa?"

"Maaf, Alea. Tadi aku tak sengaja baca e-mailmu. Ada e-mail dari mantan rekan setimmu. Dia tidak suka kamu menikah denganku. Dia bilang...aku tidak pantas untukmu."

Penyesalan bertransformasi jadi kesedihan. Bunda Alea mendesah, lalu mengambil iPhonenya. Dibukanya e-mail. Segera saja surat elektronik dari mantan teman setimnya berpindah ke spam.

Sejurus kemudian, Bunda Alea merengkuh tubuh Ayah Calvin. Dia bernyanyi lembut.

Kau bisa menjaga aku

Hingga diriku merasa teduh

Aku seperti kamu

Menginginkan dan memerlukanmu

Karena kita tak mampu

Untuk selalu pergi menjauh

Kau jadikan aku ini

Wanita yang kau pilih

Untuk jadi kekasihmu

Dan kau pun telah aku minta

Setia sepertiku

Hingga waktunya tiba (Rossa-Wanita yang Kaupilih).

Kedamaian meneduhi mereka. Hati mereka damai, damai sekali. Tak perlu robekan selaput mahkota. Tak perlu bercinta. Sungguh, begini saja pun cukup. Ayah Calvin dan Bunda Alea memandang tinggi cinta platonis.

"Terima kasih kau mau bersamaku, Alea. Pasti tidak mudah bagimu." kata Ayah Calvin. Ia mencium kening Bunda Alea dengan lembut.

"Aku tidak meminta apa pun darimu...asalkan kau tetap sehat. Kalau kau sehat, kau bisa menemaniku sampai aku tua nanti." bisik Bunda Alea.

"Sehat?" desah Ayah Calvin, wajahnya berubah hampa.

"Bantu aku berdoa ya."

Baru beberapa jam menghabiskan waktu di presidential suite, Bunda Alea gelisah. Digenggamnya tangan Ayah Calvin kuat-kuat.

"Sayang, kita pulang yuk. Aku kepikiran Jose." pintanya.

Permintaan Bunda Alea mencengangkan. Dengan lembut, Ayah Calvin membelai pipi mulus istrinya.

"Kamu yakin, Sayangku?"

"Iya. Besok kan Jose Phlebotomy. Masa kita enak-enakan honeymoon terus dia sendirian?"

Keduanya beranjak meninggalkan suite. Saat masuk lift, Ayah Calvin memeluk pinggang Bunda Alea.

"Aku memang tidak salah pilih." ucapnya dengan tatapan memuja.

**   

Kekhawatiran Jose tak terjadi. Ia tak sendirian saat Phlebotomy. Ayah-Bundanya setia menemani.

Susah payah Bunda Alea dan Ayah Calvin mencegah Jose makan dan minum beberapa jam sebelum terapi. Jose yang keras kepala belum paham sepenuhnya syarat penting pengeluaran darah dari pembuluh vena. Terpaksa ia menurut. Padahal ia ingin mencicipi bubble tea yang dibuatkan Bunda Alea untuk Ayah Calvin.

"Nanti Bunda buatin spesial buat kamu," janji Bunda Alea dalam perjalanan ke rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, mood Jose membaik. Ia disambut ramah Dokter Tian dan para suster. Masih ada waktu setengah jam sebelum terapi. Jose minta izin jalan-jalan sebentar.

Disusurinya koridor rumah sakit. Bermacam suara tertangkap olehnya. Tangisan, jeerit kesakitan, erangan, muntahan, dan ratapan. Lantai, dinding, dan pintu, semuanya berwarna putih. Bagai jalan menuju akhirat.

Memasuki koridor ketiga, Jose berpapasan dengan gadis kecil bergaun biru muda. Gadis itu cantik sekali. Sekilas wajahnya perpaduan antara Tionghoa, Manado, dan Western. Kedua matanya...matanya itulah yang menarik. Mata si gadis berwarna biru pucat. Dilihat dari wajahnya, mungkin ia setahun lebih muda dari Jose.

"Halo," sapa Jose ramah.

Tak ada tanggapan. Anehnya, Jose tidak kesal. Terus diperhatikannya si gadis kecil. Di tangan kanannya yang mungil, terpegang sebentuk keranjang rotan. Bunga-bunga di dalamnya begitu segar.

"Itu bunga buat siapa?" tanya Jose, menjajari langkah si gadis.

Hening. Tiada sahutan. Jose tetap sabar. Sesabar Albus Dumbledore menghadapi kemarahan Harry Potter dalam seri Order of Phoenix.

Si gadis mempercepat langkah. Rambut panjangnya berayun seirama langkahnya. Ia memasuki ruang rawat berisi dua pasien lansia. Diucapkannya salam, lalu dia letakkan bunga-bunga segar ke atas meja samping tempat tidur mereka. Jose menatap kagum gerakan gadis itu.

Pintu kedua, ketiga, keempat, kelima, dan pintu-pintu lainnya. Begitu terus yang dilakukan si gadis sampai bunganya habis. Kekaguman Jose membesar.

"Siapa namamu?" Jose melontarkan tanya kedua.

Tetap saja gadis itu membisu. Mustahil ia tunawicara. Bukankah tadi dia mengucapkan salam pada pasien lansia?

"Ya ampun, Sayang...kamu dari mana saja?" Bunda Alea mengelus dada ketika dilihatnya Jose terburu-buru masuk unit hematologi satu jam kemudian.

"Maaf, Bunda. Tadi ada pengantar bunga misterius." kata Jose meminta maaf.

Ya, Jose menamai gadis itu pengantar bunga misterius untuk sementara. Sampai identitas si gadis kecil terkuak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun