Pertanyaan itu jugalah yang mengganjal di hati Bunda Alea setiba di hotel. Hotel ini berbeda dari venue tempat resepsi berlangsung. Ayah Calvin mengatur semua yang terbaik untuk mereka malam ini.
Bunda Alea mengedarkan pandang ke sekeliling presidential suite tiu. Sofa empuk, furniture berdesain premium, interior klasik, dan kamar amndi bernuansa hitam-emas. Semua ini terlalu mewah untuk dinikmati tanpa eksan. Mungkinkah Ayah Calvin berharap lebih?
"Alea, menikah denganku sama artinya memutus keturunan. Kau sudah tahu, kan?" ujar Ayah Calvin lembut, seolah bisa membaca pikirannya.
"Ya. Terima kasih atas pengertianmu. Dan kukira...Jose sudah cukup." sambut Bunda Alea hangat.
Lega hati Bunda Alea. Dilangkahkannya kaki ke kamar mandi. Melepas gaun pengantinnya, dan menggantinya dengan baju yang lebih casual. Makin besar cintanya pada Ayah Calvin. Suaminya itu tak ingkar janji.
Selesai berganti baju, Bunda Alea mendapati suaminya terduduk di sofa dengan wajah pias. Gurat penyesalan tergambar jelas. Ponselnya dan ponsel Ayah Calvin tergeletak berdekatan dalam keadaan menyala.
"Calvin...are you allright?" Bunda Alea melambaikan tangan di depan wajah Ayah Calvin.
Tak ada jawaban. Bunda Alea mengulangi, lebih sabar.
"Hei Sayang...Calvinku. Kamu kenapa?"
"Maaf, Alea. Tadi aku tak sengaja baca e-mailmu. Ada e-mail dari mantan rekan setimmu. Dia tidak suka kamu menikah denganku. Dia bilang...aku tidak pantas untukmu."
Penyesalan bertransformasi jadi kesedihan. Bunda Alea mendesah, lalu mengambil iPhonenya. Dibukanya e-mail. Segera saja surat elektronik dari mantan teman setimnya berpindah ke spam.