Kompasianer, Young Lady takut. Takut sekali. Ternyata hari raya tahun ini tak kalah suram dari tahun-tahun sebelumnya.
You know? Saat hari raya, bukannya kesejukan yang di dapat, malah judgement dilayangkan. Bermula dari akbar pindah agamanya seorang laki-laki dalam keluarga besar.Â
Dia pindah agama setelah menikah. Lalu meluncurlah hujatan-hujatan pada si istri. Istri laki-laki itu dituduh sebagai penyebab dirinya pindah agama.
Well, tak semua keluarga dalam lingkaran ini Muslim. Dari kecil, Young Lady terbiasa melihat lingkaran keluarga dwiagama. Itu biasa, sangat biasa. Tapi tetap saja, judgement menyerang teramat kuat.
Ironisnya, topik pindah agama diangkat saat hari raya. Buat apa coba? Merusak kesucian esensi hari kemenangan. Perih hati ini mendengarnya.
Menurut Young Lady, pindah agama seperti siklus. Bila ada yang keluar, pasti ada yang masuk. Sudah, begitu saja. Mengapa harus diributkan? Mengapa harus menyalahkan pribadi tertentu? Tidak perlulah sampai menyalahkan.
Sungguh, Young Lady cantik takut sekali. Hati ini terasa tergores-gores. Keinginan untuk luka semakin besar. Perih, seperti lagunya Viera.
Obrolan soal pindah agama belum apa-apa. Beberapa waktu kemudian, Young Lady diharuskan menerima kenyataan kalau sepasang pria-wanita yang disebut orang tua bertengkar. Pertengkaran itu melibatkan luka. Sebutlah itu abusive relationship. Young Lady telah sering melihatnya berkali-kali, sepanjang tahun, sejak kecil.
Mengapa harus Young Lady yang melihatnya? Mengapa Young Lady saja yang diperlihatkan pertengkaran itu, yang lain tidak? Anyway, ternyata hari raya itu memang buruk. Young Lady hanya bisa menangis.
Allah, Tuhan yang Maha Cinta tempat mengadu. Pelukan "Calvin Wan", telepon dari Mbak Leya, dan kata-kata Pak Jose di malam sebelumnya, juga support tak kasat matanya di lini masa, menjadi pelipur lara.Â