"Bagiku, BPJS sama dengan riba. Dan pasien-pasien anehmu itu...hmmmm, mereka tak pantas ditolong. Biar saja mereka mati dan membusuk di neraka."
Sungguh keterlaluan. Sisa warna di wajah Dokter Tian lenyap. Kemarahannya sirna. Tergantikan kesedihan, kesedihan teramat dalam. Selama berumah tangga, dia tidak pernah mengajari istrinya bersikap rasis. Mengapa jadi begini?
Enggan melanjutkan pertengkaran, Dokter Tian bergegas meninggalkan cafetaria. Ia melangkah setengah berlari ke taman rumah sakit. Mengabaikan seruan Dokter Anastasia. Beginilah repotnya beristrikan rekan kerja.
Bangku taman telah menunggu. Dokter Tian mengenyakkan tubuh di atasnya. Ia tuliskan larik-larik puisi di atas sehelai kertas. Tak puas, onkolog itu bangkit. Meraih sesuatu dari dalam tas biolanya. Sekejap kemudian, terdengar alunan musik membelah keheningan taman rumah sakit. Dokter Tian bernyanyi lembut.
Aku memang tak berhati besar
Untuk memahami hatimu di sana
Aku memang tak berlapang dada untuk menyadarii...
Diam-diam Dokter Anastasia menyusul suaminya ke taman. Ia terpana, sempurna terpana mendengar lagu bertempo slow itu. Ah, sulitnya memahami Dokter Anastasia. Ia punya alasan sendiri untuk melarang Dokter Tian terlalu baik pada orang-orang yang berbeda.
Dengar dengarkan aku
Aku akan bertahan sampai kapan pun