-Semesta Dokter Tian-
Atmosfer cafetaria rumah sakit berubah tegang. Berpasang-pasang mata menatap keheranan ke arah meja no. 9. Keluarga pasien, pembesuk, dan paramedis diam-diam menyimak pertengkaran kecil dua dokter senior itu.
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Tian."
Dokter Anastasia mengepalkan kedua tangan. Dipandangnya wajah Dokter Tian dengan mata menyala.
"Pasien kafir kautolong. Pasien BPJS kausayang-sayang. Dokter Katolik kaugantikan tugasnya, padahal kau sendiri kurang tidur."
"Diam!" sergah Dokter Tian marah. Satu tangannya menggebrak meja. Cake coklat dan pai apel berlompatan ke lantai.
"Apa hakmu mengatur-aturku, Anastasia? Terserah aku mau menolong siapa!"
Gelembung kemarahan pecah. Kedua bahu Dokter Anastasia bergetar. Air mata membasahi pipi putihnya. Sakit, sakit hatinya dibentak kolega yang juga suaminya itu.
"Dan jangan sebut mereka kafir! Aku tidak suka!"
Isakan terlontar dari bibir Dokter Anastasia. Dokter Tian memalingkan wajah. Ia malu punya istri rasis dan intoleran. Terus saja begini tiap kali Dokter Tian menolong pasien non-Muslim dan nonpribumi. Pertengkaran berulang saat Dokter Tian membantu teman seprofesinya yang harus mengikuti Misa Prapaskah. Mengapa kebaikan hatinya selalu disalahpahami?
"Anastasia, mengapa kau benci pasien BPJS? Mengapa kau benci pasien non-Muslim dan nonpribumi? Apa salah mereka?" tanya Dokter Tian interogatif.