-Semesta Calvin-
Tubuhnya serasa melayang. Melayang ringan, menembus dinding kaca. Separuh jiwanya serasa tercabut. Ya, Allah, ini menyakitkan. Terlalu menyakitkan.
Calvin kehilangan dua orang terbaik dalam waktu yang sama. Dua ayah yang dikasihinya sepenuh jiwa. Mengapa Izrail serakus itu melahap nyawa mereka?
Lantunan Yasin terdengar memenuhi ruang tamu berlangit-langit tinggi penuh lampu kristal itu. Rumah mewah tepi pantai dipadati pelayat. Suara bacaan Quran terdengar ditingkahi debur sedih ombak.
Sedih, sepi, duka, kehilangan sempurna merobek-robek hati Calvin. Torehan demi torehan luka menganga lebar. Bahkan wanita cantik bergaun hitam di sisinya tak kuasa memberi penyembuhan.
"Calvinku...jangan memberatkan jalan mereka. Kasihan Abi dan Papa." Wanita berkulit putih dan berambut panjang itu lembut berbisik.
Calvin menengadah, menatap nanar wanita ketiga yang dinikahinya. "Aku menyesal mengizinkan Papa dan Abi melakukan perjalanan bisnis ke Aussie. Andai saja mereka tak pernah naik pesawat itu...kau tahu, Lisa? Rasanya aku seperti ditinggalkan Nabi Nuh. Semua orang dinaikkan ke bahteranya. Aku, aku sendiri yang tak diajak."
Lisa tertunduk pilu. Lembut digenggamnya tangan Calvin. Diciuminya jemari pria itu. Air matanya berjatuhan. Sungguh, model dan sekretaris itu amat takut. Takut suaminya drop akibat kesedihan mendalam.
Buku doa ditutup. Bacaan selesai. Dengan lembut, Lisa memapah Calvin meninggalkan ruangan. Calvin kesulitan berjalan. Dengan sabar, Lisa menuntunnya ke depan grand piano putih.
Keputusannya tepat. Kurang dari setengah menit, jemari lentik Calvin menari pelan di atas tuts piano. Mengenali lagunya, Lisa mulai bernyanyi.