Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Parade Para Malaikat

25 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 25 Februari 2019   06:00 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Darah malaikat tercecer di gereja..."

"Satukan kekuatan kita..."

"Perangi terorisme!"

Yel-yel diteriakkan. Sekumpulan pria-wanita cantik dan tampan melangkah gagah menyusuri jalan protokol. Pita merah putih terpasang di lengan mereka. Setiap orang menenteng kardus berisi uang.

Calvin memimpin barisan. Wajahnya pucat tapi tegar. Diarahkannya teman-temannya mengikuti aksi solidaritas dengan tertib. Berjalan di jalur yang semestinya. Tidak menginjak rumput hijau. Tidak memetik bunga dan tanaman hias. Tidak menghalangi para pengguna jalan yang lain.

Semua mata tertuju pada mereka. Pemandangan langka, ketika fotografer dan model menyatukan kekuatan. Mereka biasanya keluar-masuk layar kaca, tampil eksklusif di atas runway, kini tebar pesona di jalan raya. Akhir pekan begini, bukannya mengambil job, mereka malah melenggak-lenggok di ruas jalan beraspal demi menegakkan toleransi.

Setengah jam berparade, langkah kaki Calvin tak lagi tegak. Sedikit limbung, sedikit terseret. Wajahnya makin pias. Sesekali ia memegangi tulang rusuknya. Namun, percayalah, binar semangat di mata sipit itu tak padam.

Sesosok pria tinggi, berambut pirang, dan bermata biru melangkah keluar barisan. Mengabaikan protes kawan-kawannya, ia pegang tangan Calvin.

"Istirahatlah, Calvin. Nanti sakitmu tambah parah." bisik pria bermata biru itu.

Calvin menepis pelan tangan sahabatnya. "Janji harus ditepati, Revan."

Revan mendesah tak sabar. Sok idealis, pikirnya. Bisa-bisa Calvin tumbang lagi.

**   


Tiba saatnya kuakhiri semua

Kuhapus harapanku selamanya

Akan kucoba terus melangkah

Walau serpihan perasaan hatiku

Masih bersamamu (Adera-Serpihan Hati).

Orang-orang berkerumun mengelilingi panggung kecil di ujung taman. Terpesona menatapi sosok tampan yang tengah memainkan piano putih. Pria tampan berjas putih itu tak hanya bermain piano, tetapi juga bernyanyi. Suara bassnya yang empuk berpadu harmonis dengan denting piano.

Bukan, bukan lagu bertema kritik sosial atau lagu kebangsaan yang ia bawakan. Cukup lagu pop saja. Semata demi merebut hati para pengunjung taman. Semakin familiar lagunya, semakin banyak orang tergerak.

Berhasil, taman disesaki partisipan. Orang-orang kota yang tengah berolahraga teralih perhatiannya. Mereka merapat, terbius pesona menyaksikan Calvin beraksi.

Tangan-tangan menyelusup ke dalam kardus, meletakkan uang. Tumpukan kardus meninggi. Ketika semua kardus tak muat lagi dijejali uang, beberapa model dan fotografer menyorongkan kardus tambahan.

"Terima kasih," ujar Revan ramah, berlutut di tengah kardus penuh gunungan uang.

Diliriknya panggung. Calvin masih membawakan lagu. Masih melempar senyum menawan. Ah, mereka tak tahu. Sungguh tak tahu. Calvin sesungguhnya tengah kesakitan.

Rasa panas, letih, dan haus para fotografer dan model lainnya tak sebanding dengan rasa sakit pemimpin mereka. Calvin, inisiator gerakan solidaritas ini, berjuang paling keras melawan kesakitan. Lihatlah, hasilnya tidak sia-sia.

Revan melambaikan tangan, tersenyum ke arah Calvin. Paham maksudnya, Calvin balas melambai dan tersenyum. Sedetik. Tiga detik. Lima detik.

Bruk!

Model, blogger, dan inisiator gerakan kasih untuk korban bom gereja itu jatuh pingsan. Darah segar mengalir dari hidungnya.

**   

Wanita cantik bergaun putih itu menangis. Digenggamnya tangan Calvin erat. Sungguh, ia sangat takut kehilangan Calvin.

"Malaikatku, bertahanlah. Jangan pergi...jangan tinggalkan aku." Ia memohon, terisak-isak.

Kamar rawat VIP itu sunyi. Mesin elektrokardiograf berpacu pelan.

Pintu ruangan terbuka perlahan. Revan melangkah masuk. Satu tangannya menggenggam amplop putih berlogo rumah sakit. Dua pasang mata biru beradu. Kakak-beradik itu saling lempar tatapan penuh arti.

"Silvi, kamu beruntung. Lihat apa yang dilakukan malaikatmu."

Refleks Silvi merebut amplop dari tangan Revan. Merobeknya, menarik selembar kertas, lalu membacanya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik.

Silvi memeluk Calvin. Merengkuh tubuh yang dipeluk rasa sakit. Tubuh itu tengah rapuh dan menunggu. Helaian kertas di tangannya melayang, jatuh ke lantai. Huruf-huruf berhamburan, berbunyi:

Surat Persetujuan Donor Mata.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun