Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Para Freelancer adalah Para Pemberani

16 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 16 Februari 2019   06:06 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ceria di Kompasiana kali ini, Young Lady mau mendedikasikan tulisan cantik untuk para freelancer. Mungkin masih ada hubungannya dengan artikel politik kantor Young Lady minggu kemarin.

Sebelumnya, apa sih freelancer itu? Freelancer adalah pekerja lepas. Orang-orang yang bekerja sendiri, tidak tergantung pada bos/perusahaan tertentu dalam jangka panjang. Gitu kata om Google.

Yups, freelancer adalah pekerja lepas. Bukan pekerja penuh waktu yang terikat jam kantor 9 to 5. Mereka juga bukan pekerja upahan yang dibayar per bulan. Freelancer berbanding terbalik dengan karyawan atau buruh.

Kompasianer, hidup itu dinamis. Nggak ada yang statis. Termasuk juga soal pekerjaan. Dulu, orang tua kita menganggap bekerja ya harus di kantor. Pada rentang jam yang sama setiap Senin-Jumat. Pakai baju rapi, punya atasan, dapat gaji bulanan, dan tunjangan-tunjangan lainnya. Ada cuti tahunan, cuti hari raya, dan potong gaji bila terlambat. Itu yang disebut kerja.

Ups, tapi itu dulu. Sekarang bagaimana? Kalo kata Tante Kate Taylor yang dilansir Forbes, 60% milenial lebih tertarik menjadi freelancer. Banyak dari mereka mengundurkan diri dari perusahaan kurang dari tiga tahun.

Kenapa milenial terpikat jadi freelancer? Macam-macam alasannya. Bisa saja karena keengganan bekerja di kantor. Menuruti siklus waktu 9 to 5 cenderung kaku. Tidak bebas saat kita terpaksa meluangkan sepertiga jatah waktu untuk terkurung di ruangan luas berpendingin yang banyak politik kantornya.

Pandangan konservatif tentang bekerja menjadi karyawan merupakan antitesis dari gejolak dalam diri milenial. Rerata dari mereka menyukai petualangan. Ok fine, menjadi pekerja kantoran memang nyaman. Kepastian ekonomi tidak perlu dikhawatirkan. Namun, minim petualangan.

Selain itu, milenial ingin menikmati hidup. Berjam-jam terpenjara di kantor dan tenggelam dalam kesibukan dapat memunculkan gaya hidup "no life". Sebuah penelitian menunjukkan, para profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Aduh, ngeri kan? Kalau begitu terus, kapan mereka punya waktu buat keluarga dan kegiatan personal?

Ada dorongan yang kuat bagi para milenial untuk melakukan pekerjaan yang tidak biasa. Bagi mereka, jadi karyawan itu biasa saja. Mereka tergerak melakukan pekerjaan yang berdampak signifikan bagi sekitar mereka. Dengan begitu, level kepuasan dan convidence meningkat.

Intinya, bukan pekerjaan biasa. Eits, bukan lagunya Afgan ya, Bukan Cinta Biasa.

Banyak faktor penggerak milenial melirik freelancer. Sisi paling enaknya tentu saja kebebasan waktu dan idealisme. Karena tidak terikat perusahaan, mereka bisa mengatur jam kerja dengan fleksibel. Bahkan bisa bekerja dari rumah, atau sambil ngopi cantik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun