Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asumsi, Hati-hati Mengucapkan Selamat Hari Raya

29 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 29 Desember 2018   06:01 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Mudah-mudahan belum telat ya. Masih suasana Natal, kan? Young Lady cantik kan nggak mau kudet.

Bicara tentang Natal, Young Lady teringat sesuatu. Apaan tuh? Apa lagi kalau bukan ucapan selamat Natal?

Oh bukan, bukan. Young Lady cantik nggak mau bahas pro kontra halal-haramnya mengucapkan selamat Natal. Perkara itu berat, biar pemuka agama saja yang membahasnya.

Jadi gini Kompasianers. Beberapa kali Young Lady mendapat ucapan selamat Natal. Iya, serius. Jadinya, Young Lady harus jelaskan ke mereka that I'm not Christian. So pasti Young Lady nggak rayain Natal dong. Begitu clear, mereka langsung minta maaf. Forgive me, kayak kata Maher Zain di lagunya.

Dimaafin nggak ya? Dimaafin kok. Tanda tanya berkejaran di dalam kepala. Kenapa Young Lady sering dikira Non-Muslim ya? Kenapa orang cepat mengira-ngira ya?

Well, setidaknya ini jadi pelajaran berharga buat kita semua. Hati-hati mengucapkan selamat hari raya pada orang lain. Bila belum tahu apa keyakinannya, jangan coba-coba asal memberi ucapan. Pastikan dulu kita tahu apa keyakinan yang dipeluknya. Jangan cepat berasumsi.

Asumsi. Nah, itu dia kata kuncinya. Sering kali kita cepat berasumsi. Merasa paling tahu, merasa yakin dengan dugaan kita sendiri. Padahal belum tentu dugaan kita benar.

Lebih parah lagi, bila asumsi itu berujung justifikasi. Menghakimi secara negatif dan berlebihan. Aduh, jangan sampailah begitu.

Agama yang dipeluk seseorang tak bisa digeneralisasi dengan ras, ciri fisik, warna kulit, warna mata, atau kebiasaan tertentu. Inilah mindset yang sulit sekali dihilangkan. Misalnya, warga keturunan Tionghoa identik beragama Buddha, Kong Hu Cu, atau Kristen. Kenyataannya, ada juga kok yang beragama Islam. 

Orang Bali pasti beragama Hindu. Tak semuanya juga kok. Orang Arab semuanya beragama Islam. Tidak, tidak. Ada juga orang Arab beragama Nasrani. Orang bule dari Eropa dan Amerika diidentikkan dengan agama Kristen. Nope, we know-lah Islam justru lagi pesat-pesatnya tumbuh di Barat.

Satu agama tak bisa dicirikan dengan ras tertentu. Tak dapat pula digeneralisasikan dengan kebiasaan dan identitas tertentu. Seorang anak yang belajar di sekolah Katolik, belum tentu ia beragama Katolik. Waktu kecil, Young Lady mengenyam pendidikan di sekolah Kristen. Apakah Young Lady jadi ikut berpindah memeluk Kristen? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun