Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Pria Pembenci Hari Minggu

23 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 23 Desember 2018   06:05 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam terlempar dari angkasa. Berkas-berkas sinar terang menandakan tersingkirnya malam yang telah digantikan pagi. Embun dingin menyentuh dedaunan. Kabut tipis menutup separuh langit.

Pagi berkabut menyapa Refrain Radio. Seperti juga Refrain yang setia menyapa pendengarnya dari pagi hingga larut malam. Kotak siaran tak pernah mati.

Bukti toleransi terlihat jelas di kotak siaran. Lihat saja gadis cantik yang tengah bersiaran itu. Ia membawakan program siaran agama Islam. Kalung salib yang melingkari leher jenjangnya menandakan kalau dia bukan pengikut Nabi Muhammad.

Meski tidak mengimani, Arlita sangat mengerti agama Islam. Ia belajar sedikit demi sedikit sejak bergabung di Refrain. Terlebih, sejak lebih dekat dengan...

"Assegaf." Arlita membisikkan nama itu, pelan sekali.

Diam-diam dia menyesali dirinya sendiri. Mengapa justru memikirkan pria itu di saat siaran? Untunglah Kyai Soimun masih membawakan materi. Praktis tak ada yang menyadarinya.

Pintu studio membuka. Panjang umur, bisik Arlita dalam hati. Pria yang dipikirkaannya muncul di depan mata. Wangi Calvin Klein menyeruak. Pria itu meletakkan kotak styrofoam berisi Yughmish, roti khas Arab berisi daging sapi cincang dan dibumbui rempah-rempah.

"For me?" tanya Arlita, matanya membola.

Pria Arab-Indonesia itu mengangguk. Arlita tersenyum berterima kasih. Assegaf perhatian sekali, pikirnya. Dia tahu Arlita tak suka makan nasi di pagi hari.

"Jangan pernah lewatkan sarapan. Nanti kamu bisa sakit." Si pria rupawan mengingatkan.

Perlahan Arlita memakan roti isi daging itu. Tak sadar sepasang mata teduh menatapinya. Pemilik mata itu mengagumi kecantikan dan keanggunan Arlita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun