"Arlita, aku baru saja datang. Kamu mau pergi begitu saja?"
Arlita berbalik. Dengan marah, ia menyahuti.
"Suamiku sakit. Dia seratus kali lipat lebih penting dari pada kamu."
Ex seminaris yang kini meniti karier di bidang lain itu tertawa. Binar matanya memancarkan sarkasme. "Masih mengurusi Zaki Assegaf yang tak punya harapan hidup itu lagi?"
"Zaki Assegaf adalah masa laluku, masa kiniku, masa depanku dunia-akhirat. Tentu saja akan kuberikan hidupku untuknya. Dan kau, Yonathan, sebaiknya pergi dari sini! Jangan ganggu aku lagi!"
Tamparan pun kalah menyakitkan dibanding kata-kata Arlita. Mantan model yang kini menjadi pengelola butik itu telah menutup rapat pintu hati untuknya.
Arlita berlari menyusuri pelataran butik. Ia buka pintu mobilnya. Dua menit berselang, sedan mewah itu meluncur pergi. Meninggalkan kepulan debu yang tepat mengenai wajah sang mantan tak terindah.
** Â Â Â
Siapakah yang datang lebih dulu untuk Abi Assegaf? Coba kalian tebak. Arlita? Jelas bukan. Waktunya terbuang percuma untuk melayani si pengukir masa lalu. Adica? Mustahil, dia terkurung di kotak siaran. Syifa? Bisa-bisa dia dicopot dari jabatan putri kampus bila mangkir dari tugas. Dokter? Bukan juga. Dokter pribadi Abi Assegaf tak pandai memilih rute. Selalu saja ia terhadang macet dimana-mana.
Bukan, sama sekali bukan mereka. Arlita, Adica, Syifa, dan dokter kalah cepat dari Calvin. Ya, pemuda tampan orientalis itu mengendarai SUV putih secepat-cepatnya ke rumah mewah pinggir pantai. Begitu selesai melepaskan diri dari keluhan Papanya, Calvin tiba lebih cepat.
Kecemasan mengacak-acak hati Calvin begitu melihat apa yang terjadi. Ia bersihkan sisa darah di hidung dan sudut bibir Abi Assegaf. Ia ganti pakaiannya yang ternoda darah. Calvin merawat Abi Assegaf dengan telaten.