Gelas kristal tak bersalah. Cappucino hangat dengan aromanya yang menggoda juga tak sepantasnya disalahkan. Namun, dua benda padat dan cair itu jadi sasaran kemarahan.
"Effendi, apa yang kaulakukan?" jerit Nyonya Rose melihat gelas koleksinya pecah.
"Belum puaskah Assegaf mengambil Adica? Lalu, kini dia merebut anak pertamaku!"
Nyonya Rose mendesah. Memprotes hati, memprotes kedekatan dan kasih sayang. Dibandingkan sang suami, toleransinya jauh lebih besar. Ia tak keberatan Calvin dan Adica dekat dengan Abi Assegaf.
"Effendi, Assegaf sedang sakit. Anak-anak kita itu baik hatinya. Wajar kalau mereka perhatian..."
"Oh, jadi karena sakit ya! Bagaimana kalau aku yang sakit? Apakah mereka akan seperhatian itu?"
Kata-kata adalah doa. Doa yang mengancam bila mengharap sakit. Adica dan Calvin sendiri bukannya sudah bebas dari penyakit. Hanya saja, kondisi mereka jauh lebih baik. Praktis mereka lebih mampu meluangkan waktu untuk Abi Assegaf.
"Tidak ada orang yang mau sakit. Sakit ada untuk menghargai nikmat sehat."
"Tapi, jika sakit bisa mendekatkanku lagi dengan anak-anak, aku mau saja mengalaminya."
Rupanya hati Tuan Effendi tertutup noda hitam. Noda hitam berbentuk iri. Iri pada Abi Assegaf yang dekat dengan kedua putranya. Begitu besar pengaruh Abi Assegaf sampai-sampai si putra bungsu menolak tinggal bersamanya.
Lupakah Tuan Effendi bila setiap orang sudah punya jalan hidupnya masing-masing? Abi Assegaf sakit kanker, itu pun sudah jadi bagian dari jalan hidupnya. Kita bisa memiliki hati, cinta, dan raga seseorang. Namun kita tak pernah bisa memiliki jalan hidupnya.