Koh Bast menepuk pelan punggungnya. "Kesabaran dekat dengan kebahagiaan. Sabarlah, saya selalu berdoa agar dukamu cepat berlalu."
"Saya rindu Papa. Rindu pelukannya, caranya merawat saya ketika sakit...well, saya rindu segalanya tentang Papa."
"Bukan rindu hartanya, kan?" canda Koh Bast.
Adica tertawa hambar. Soal harta Michael Wirawan, bukan lagi prioritasnya. Ia jauh lebih merindukan sosok sang Papa dibandingkan harta dan kejayaan masa lalu. Kasih sayang seratus kali lipat lebih berharga dari harta keduniawian.
"Tian, bagaimana kondisi anakku?" tanya Tuan Effendi dengan nafas memburu. Ekspresi wajahnya cemas luar biasa.
"Dari hasil anamnesis, diketahui Calvin punya riwayat infeksi ginjal. Sementara, baru sebatas itu. Akan kulakukan pemeriksaan lanjutan. Semoga asumsiku keliru." jawab Dokter Tian, suara lembutnya menyelipkan sepercik nada khawatir.
Nyonya Rose bernafas cepat. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu apa asumsi itu. Ah, tak terbayangkan hancurnya hati bila asumsi itu benar.
** Â Â Â
Apa yang ditakutkan terjadi. Bukan sekedar infeksi, tetapi kanker. Sel-sel ganas itu menggerogoti Leukosit, menjadikan produksi sel darah putih abnormal. Ini menyakitkan, sangat menyakitkan.
Ironi menghantam Calvin. Belum lama ia merasakan manisnya prestasi dan kebanggaan. Kini, tubuhnya terkalahkan penyakit stadium lanjut.
Marahkah ia dengan kondisi ini? Tidak, Calvin sama sekali tidak marah. Kelembutan di hatinya menjauhkan dari amarah. Ia hanya menerima, terus berusaha menerima. Tak hanya itu. Calvin berserah diri, berserah diri atas takdir hidup yang harus dijalaninya.