Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sembilan Konfeti Kesedihan

8 September 2018   06:00 Diperbarui: 8 September 2018   06:00 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Konfeti 1-

Bertahun-tahun bekerja di unit hemodialisa, Dokter Tian terbiasa melihat rasa sakit dan kematian. Pemandangan pasien meregang nyawa di tempat tidur rumah sakit adalah hal biasa baginya. Namun, yang tak biasa justru hadir dari putranya sendiri.

"Al mohon, Pa...tolong Papa lakukan yang terbaik untuk Calvin." bisik pemuda blasteran Jawa-Jerman-Skotlandia itu.

Albert berlutut. Memegang erat kedua tangan ayah angkatnya. Sejurus kemudian, Dokter Tian balas menggenggam jemari putra tunggalnya.

"Akan Papa lakukan semaksimal mungkin," ucapnya pelan.

"Papa janji."

Gurat permohonan tertangkap jelas di mata itu. Mata yang sarat kesedihan dan luka. Albert takut, sungguh takut kehilangan Calvin. Calvin Wan adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya.

**   

-Konfeti 2-

Prang!

Ustadz Abdullah melempar gelas kristal. Nyaris saja mengenai Rossie. Gadis itu menjatuhkan diri ke lantai marmer. Pundaknya bergetar hebat dalam isakan.

"Pokoknya kamu tidak boleh bersahabat lagi dengan teman-teman Non-Muslimmu itu! Apa kata jamaah Ayah nanti?! Bikin malu!" teriak Ustadz Abdullah. Suaranya membelah keheningan malam.

Susah payah Rossie menengadah. Tangan putihnya terkepal. Walau ketakutan, gadis keturunan Sunda-Jerman itu masih menyimpan sisa ketegaran.

"Mereka Muslim, Ayah. Hanya saja, mereka blasteran. Mereka juga tidak berpenampilan Islami. Tapi...percayalah, Ayah. Sahabat-sahabatku Muslim yang taat." Rossie terisak tertahan.

Ikat pinggang terlepas. Dengan kekuatan mengerikan, Ustadz Abdullah menghantamkan benda hitam mengilat itu ke punggung putrinya sendiri. Ya, seorang pemuka agama yang dikenal karena keluasan ilmu dan kemampuannya memikat banyak orang dengan tausyiahnya, tega mencambuki anak kandungnya sendiri.

"Sahabat-sahabat kafirmu itu telah menjauhkanmu dari Allah, Rossie! Gara-gara mereka, kamu jadi pembangkang! Sudah lewat baligh, belum juga kamu berhijab! Kamu malah masuk modeling! Modeling itu dunia syaitan dan syahwat!"

Sakit hati Rossie mendengar kecaman ayahnya. Bukan kecaman tentang dunia modeling, tetapi hinaan pada sahabat-sahabatnya.

Mengabaikan sakit di punggungnya, Rossie berjalan tertatih ke pintu depan. Pelan memutar handel. Angin dingin menampar-nampar wajah. Sekaranglah saatnya pergi. Pergi menemui sahabatnya yang tengah menunggu waktu di rumah sakit.

**    

-Konfeti 3-

Pria tua berambut putih dan berwajah Kaukasia itu mengerang kesakitan. Satu tangan memegangi dada kirinya. Erangan-erangan kesakitannya sukses mengalihkan perhatian gadis cantik berambut panjang bergelombang.

"Lia...Lia benar mau tinggalkan Papa?" rintih lelaki tua itu.

Langkah Julia terhenti. High heelsnya menghujam tajam lantai pualam. Dua sisi hatinya berdilema. Antara merawat Papa atau sahabatnya.

"Tapi...Calvin sakit, Pa. Lia harus ke rumah sakit." Julia lembut memberi pengertian.

Sang Papa bernafas cepat dan pendek-pendek. Kesedihan tergambar jelas di wajah pria Belanda itu. Pria yang mewariskan darah campuran pada putri semata wayangnya.

"Ok, terserah Lia. Urus saja Calvinnya Lia itu. Tinggalkan Papa sendiri!"

Dengan sedih, Julia mengawasi Papanya terhuyung menaiki tangga. Hati kecilnya tak henti membisikkan kata maaf.

**   

-Konfeti 4-

Ia guru biola yang tampan. Anak-anak panti asuhan belajar biola selama dua tahun penuh darinya. Kata beberapa anak panti, sosoknya mirip dengan Pangeran di buku-buku fairy tale. Pasti karena rambut pirang dan mata biru yang dimilikinya. Terima kasih untuk pewarisan darah campuran Minahasa-Portugis-Turki dari Baba Johanis dan Anne Ellen.

"Kak Revan, ayo ajarin kita main biola lagi..." pinta seorang anak perempuan berkepang dua.

Revan mengangguk. Sabar diajarinya anak-anak tak beruntung itu main biola. Namun sesungguhnya, pemuda penyuka warna biru itu tengah resah. Terbayang seraut wajah tampan oriental di pikiran. Bagaimanakah keadaannya kini? Haruskah ia tinggalkan anak-anak panti itu untuk ke rumah sakit? Tidak, tidak. Ini amanah, ia harus selesaikan.

**    

-Konfeti 5-

Tamparan demi tamparan membuat Anton terjatuh sambil memegangi kedua pipinya. Memar, memar, dan memar. Luka, luka, luka. Hanya itu yang bisa diberikan ayah kandungnya.

Raden Suryantoro mengangkat tangannya sekali lagi. Belum puas melampiaskan amarah. Darah biru tak membuatnya mampu bersikap halus dan lembut. Sebelum sempat menampar putranya lagi...

"Cukup, Pap! Cukup!"

Nyonya Belinda Marniati Suryaatmaja berlari menuruni tangga. Menarik tangan suaminya. Mencegah sang suami melukai buah hatinya lagi.

"Anton sudah mencoreng nama keluarga kita! Apa salahnya kalau aku menamparnya?!"

"Apakah bersahabat dengan semua orang termasuk perbuatan yang menodai nama baik keluarga?"

Lagi, kedua orang tuanya bertengkar. Pemuda yang menjadi pusat pertengkaran memejamkan mata. Mengapa dirinya harus terlahir dari keluarga priyayi campuran Belanda? Mengapa bersahabat menjadi sesulit ini hanya karena status darah dan ukuran kebangsawanan?

"Semua orang sama, Pap. Tidak boleh dibeda-bedakan hanya karena dia bangsawan atau bukan."

Dengan kata-kata itu, Anton bergegas kabur. Menyetir mobilnya secepat dia bisa. Calvin dan Calisa jauh lebih penting.

**    

-Konfeti 6-

Pemuda orientalis dan gadis Minang-Inggris. Cukup serasi. Mereka berdansa waltz, menari seirama musik. Taman kota bermandikan cahaya lampu. Para pemain musik berdiri di balik rerimbun pepohonan, tersembunyi dari sepasang kekasih itu.

"Suka kejutannya, Sayang?" tanya pemuda oriental itu. Menyibak anak-anak rambut Calisa, menyelipkannya ke belakang telinga.

"Ya..." jawab Calisa resah.

Wajah oriental itu memburam seketika. Sedikit kecewa dengan reaksi gadisnya yang terlalu standar.

"Terima kasih, Adica." Calisa buru-buru menambahkan, membelai pelan pipi pemudanya.

Sungguh, Calisa tak ingin di sini. Tubuhnya di taman, namun jiwanya melayang ke rumah sakit. Rasa bersalah memukul-mukul jiwa. Seakan dirinya berbahagia di atas kesedihan orang lain.

"Calisa, cepat selesaikan skripsimu. Lalu aku akan melamarmu." pinta Adica.

Kedua mata Calisa mengerjap. Mengapa hatinya justru sedih? Bukankah lamaran adalah hal yang paling ditunggu-tunggu wanita dari kekasihnya? Tapi, ia tak bahagia. Calisa merasa tidak menginginkannya.

Pelan dilepasnya genggaman tangan Adica. Dilangkahkannya kaki ke gerbang taman. Adica mengejarnya.

"Maaf Adica, aku harus pergi. Sahabatku sedang sakit."

Mata Adica membola. Dicengkeramnya lengan Calisa erat, diguncang-guncangkannya penuh emosi.

"Jadi begitu? Kau lebih memilih sahabatmu dari pada aku?" desisnya.

Sebuah sedan putih meluncur mendekat. Tombol power window terbuka. Kaca mobil terbuka. Disusul pintu mobil yang dibuka dengan terburu. Pemuda lain yang sembilan senti lebih tinggi berlari menghampiri Calisa. Lengan putih itu ditarik lepas.

"Jangan halangi dia. Aku dan Calisa harus ke rumah sakit." kata pemuda itu dengan nada berwibawa.

"Anton..." Calisa mendesah, menyembunyikan wajahnya di balik punggung sahabatnya yang paling setia.

**     

-Konfeti 7-

Jika kalian harus memilih kado berukuran besar atau kecil, manakah yang akan kalian pilih? Silvi akan memilih kado berukuran kecil. Sebab, belum tentu kado kecil tak punya arti yang kecil pula. Bisa saja isinya jauh lebih berharga. Pikir saja. Kaleng biskuit ukurannya besar. Kunci mobil baru ukurannya jauh lebih kecil. Tapi, orang dipastikan akan lebih memilih kunci mobil baru dari pada kaleng biskuit. Lebih berharga yang kecil, bukan?

Detik-detik menjelang hari ulang tahunnya pun, Silvi senang menerima kado yang tidak begitu besar dari Calvin. Gadis bermata biru pucat itu menyukai kado. Sejak kecil, dia terbiasa memberi dan menerima kado.

Silvi paling suka saat membuka bungkus kado. Baginya, membuka bungkus kado mengandung unsur proses dan kejutan. Proses ketika kertas kado terbuka sedikit demi sedikit. Kejutan karena si pembuka berdebar-debar dan menahan rasa penasaran, seperti apa isinya.

Perlahan tapi pasti, lapisan-lapisan pembungkus kado terbuka. Memperlihatkan sebentuk kotak putih-keperakan. Dibukanya tutup kotak, dan Silvi terpana. Sehelai gaun cantik berwarna putih terbaring nyaman di dalam kotak. Gaun itu cantik sekali. Pastinya mahal. Bukan Calvin Wan namanya kalau tak bisa memberi hadiah-hadiah mahal dan high class.

Ia tarik gaun putih itu dari dalam kotak. Selembar surat meluncur jatuh. Nona cantik Minahasa-Portugis-Turki itu memungutnya. Mengurai lipatan surat, mulai membaca.

Temui aku dengan memakai gaun itu di balkon kamar VIP. Seperti janjiku, aku akan menemanimu menunggu detik-detik pergantian umurmu. Kau tahu, tanggal lahir kita sama? Allah mentakdirkan kita sama-sama lahir di tanggal 9.

Your Angel,

Calvin Wan

Air mata Silvi berjatuhan. Kebahagiaannya lesap. Ia teringat kondisi Calvin. Malaikat tampan bermata sipitnya itu sakit parah. Calvin bisa sembuh, itu adalah kado terindah yang paling ia nanti. Silvi tak perlu janji, tak perlu pernikahan, tak perlu kemewahan. Waktu, ya hanya waktu yang diperlukannya. Waktu kebersamaan dengan Calvin.

**    

-Konfeti 8-

"He's so young and handsome...my dearest son." Nyonya Rose tersedu, membelai-belai rambut Calvin.

"It's our mistakes, Rose..."

Tuan Effendi menggenggam lembut tangan Calvin. Tangan yang terasa sangat dingin. Sesal tergambar jelas, membiaskan kesedihan mendalam.

"Kita terlalu lama meninggalkan Calvin...sampai-sampai kita terlambat tahu kalau dia sakit." ujar Nyonya Rose muram.

Kamar rawat VIP itu dilingkupi kedukaan. Tak lelah Tuan Effendi dan Nyonya Rose menunggui anak tunggal mereka melawan penyakitnya. Tekad membulat di hati: takkan meninggalkan Calvin untuk kali kedua.

Masa kelam itu belum terlewati. Sejak terakhir kali hemodialisa, Calvin mengalaminya. Calvin sepsis, keracunan darah.

Kini, saatnya Tuan Effendi dan Nyonya Rose menebus semuanya. Semua waktu yang hilang. Di sela menemani, tangan mereka tak lepas dari iPad. Membuka laman blog milik Calvin. Membaca tulisan-tulisannya.

"Anak kita pintar...dia bisa menuangkan pemikirannya lewat tulisan-tulisan yang bagus. Mengapa kita baru sadar? Mengapa baru kita perhatikan sekarang?" sesal Nyonya Rose. Memperlihatkan tulisan terbaru Calvin tentang berita baik di satu sisi dan amukan kurs Dollar di sisi lainnya.

Tuan Effendi menyeka mata. Terlarut dalam penyesalan yang sama.

Ah, itu tidak benar. Calvin bukan hanya pintar. Ia juga tampan, sangat tampan. Katakanlah Calvin tampan luar-dalam. Dalam kondisi sakit, hati dan wajahnya tetap rupawan.

Sisi terdalam hatinya, sisi yang paling dekat dengan Silvi, menggerakkannya untuk bangun. Bulu mata Calvin yang lentik bergerak-gerak. Pelan-pelan, kedua mata sipit bening itu membuka.

"Calvin Sayang?" sapa Nyonya Rose dan Tuan Effendi bersamaan.

Calvin menatap bergantian kedua orang tuanya. Sosok-sosok yang memenuhi hatinya dengan rindu.

"Terima kasih Mama dan Papa mau menemaniku..." lirih Calvin.

Tak perlu ada kata terima kasih. Ini adalah kewajiban. Kewajiban orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Tetap cinta walau yang dicintai sedang di ambang kehidupan dan kematian.

Reminder di iPhonenya berbunyi. Tanpa reminder pun, Calvin ingat. Ada janji yang harus dituntaskan.

"Jangan banyak bergerak dulu, Sayang." cegah Tuan Effendi panik melihat putranya mencoba bangkit dari ranjang.

"Kalau Papa menyayangiku, Papa akan membantuku bangun." Calvin berkeras.

Tubuh tinggi yang tak lagi atletis itu bangun perlahan. Malaikat tampan bermata sipit dikuatkan Allah dan para malaikatNya untuk menuntaskan janji.

Balkon kamar rawat dingin sekali. Jarum-jarum jam berjatuhan, berlari menggapai angka dua belas. Sebentar lagi, hari berganti. Dua sosok cantik dan tampan akan menghadapi tanggal lahir yang sama.

"Calvin?"

Gadis cantik yang menantinya di ujung balkon berlari dengan lengan terentang. Gaun putihnya berkibaran.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Calvin dan Silvi berpelukan. Hati mereka berpagutan dalam cinta. Mata sipit bertemu mata biru. Kelembutan bertemu kebaikan. Ketenangan bertemu kekhawatiran. Kecantikan bertemu ketampanan. Malaikat tampan bertemu putri cantik. Tionghoa bertemu Turki. Calvin bertemu Silvi.

"Selamat ulang tahun, Silvi." kata Calvin lembut.

**    

-Konfeti 9-

Mereka bertemu, berpelukan, bertautan tangan. Mengukir harapan di bawah dinginnya malam. Menuliskan kepedihan demi kepedihan, mengadukannya.

Dari dalam kamar rawat, terdengar dentingan piano. Refleks Calvin dan Silvi berbalik. Tak ada siapa-siapa di balkon. Mungkin ini kejutan. Kejutan dari enam sahabat lainnya. Enam sahabat yang hanya ingin berdiri di belakang layar, tanpa mengganggu.

"Can I...?"

Tangan Calvin terulur. Silvi menerimanya. Diiringi alunan musik, mereka berdansa. Silvi berputar di bawah lengan Calvin. Sementara itu, Calvin membimbingnya dalam langkah-langkah dansa yang memikat.

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kuerelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

**     


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun