Dua hari lalu, waktu Young Lady jalan-jalan cantik di runway Google buat cari bahan tulisan, tetiba mata biru ini menangkap potongan artikel yang sangat menarik. Artikel yang ditulis oleh Ketua Jaringan Islam Anti Diskriminasi dan Koordinator Jaringan GUSDURian Jawa Timur. Sebuah artikel yang senada dengan kegelisahan hati Young Lady.
https://www.idenera.com/ada-aku-di-antara-tionghoa-dan-indonesia/
Keren dan salut. Hanya dua kata itu yang berkelebatan di kepala Young Lady selesai membaca artikelnya. Keren karena ia berhasil merealisasikan gagasan berupa terbitnya buku Ada Aku Di Antara Tionghoa dan Indonesia. Salut dengan keberanian, kerja keras, dan semangatnya.
Bukan Young Lady namanya kalau tak penasaran. Begitu menemukan alamat e-mailnya, langsung saja Young Lady kirimi dia surel. Di luar dugaan, fast respon. Padahal Young Lady hanya mengungkapkan kekaguman atas terbitnya buku yang diinisiasinya. Young Lady cantik juga ungkapkan keinginan untuk sharing, berbagi pengalaman tentang diskriminasi yang dialami orang-orang seperti Young Lady, dan niat berbagi tulisan. That's all.
Namun, ternyata Ketua Jaringan Islam Anti Diskriminasi itu malah memberi copy undangan menulis buku Narasi Tionghoa II. Undangan menulis buku berisi kumpulan tulisan suka-duka pengalaman yang berkaitan dengan Tionghoa Indonesia. Kurang-lebihnya begitu, sepemahaman Young Lady ya. Undangan menulis buku itu lengkap dengan panduannya.
So pasti, Young Lady cantik ambil kesempatan. Nggak mau dong ketinggalan. Time to tell the truth. Waktunya mencurahkan isi hati dan membuka mata hati orang lain lewat tulisan cantik. Malam itu juga, Young Lady e-mailkan tulisan cantik sesuai ketentuan. Young Lady begitu bersemangat mengerjakannya.
Jauh di dalam hati, ada perasaan tak enak. Young Lady resah dan gelisah...eits, itu kan lirik lagunya Chrisye. Iya, Kompasianers. Young Lady gelisah karena merasa belum melakukan banyak hal untuk mengupas tuntas hal-hal yang selama ini mengganggu pikiran Young Lady. Paling tidak, Young Lady sepemikiran dengan Ketua Jaringan Islam Anti Diskriminasi itu. Young Lady juga resah dengan adanya stereotip dan diskriminasi. Bukan hanya resah, tetapi juga benci. Sebab Young Lady sudah sering mengalaminya.
Sejak membaca tentang buku yang digagas Aan Ansori, Young Lady menjadi gelisah. Sangat gelisah. Mengapa dia begitu berani, dan Young Lady tidak? Mengapa dia mampu menggerakkan banyak orang untuk mendukung aksinya mengantisipasi stereotip sementara Young Lady tidak berdaya? Ia sudah berhasil menginisiasi terbitnya sebuah buku yang membuka mata hati pembaca. Sedangkan Young Lady belum apa-apa. Young Lady baru sebatas menulis cantik di Kompasiana. Honestly, jalan untuk ke sana sulit sekali buat Young Lady.
Itulah akar kegelisahannya. Membaca kisahnya, langkah Aan Ansori untuk menggagas terbitnya buku Ada Aku Di Antara Tionghoa dan Indonesia itu pun berawal dari keresahan. Keresahan yang ditumpahkan dalam slide-slide presentasi, ditampilkan dengan emosional dalam forum-forum diskusi, dan akhirnya digabungkan ke dalam sebuah buku. Kalau kalian tanya, Young Lady jauh lebih gelisah darinya.
Tapi masalahnya, Young Lady bukanlah orang yang punya power dan banyak pendukung seperti Aan Ansori. Young Lady bukanlah ketua organisasi besar yang jaringannya luas seperti dia. Sebagai korban diskriminasi, atau setidaknya orang yang pernah merasakan sulitnya mencari sekolah, mengerjakan tugas, dan menerbitkan buku karena kejamnya diskriminasi, Young Lady sulit mempercayai orang lain. So, orang yang dipercaya Young Lady sedikit sekali. Kalaupun ada, selalu saja Young Lady dikejar-kejar rasa takut bila orang-orang itu suatu saat nanti akan mengkhianati kepercayaan. Efek trauma diskriminasi sepertinya.
Di saat seperti ini, Young Lady merasa sendirian. Sepi menyeruak di tengah kegelisahan. Young Lady bukanlah orang yang punya power atau privilese sehingga mudah mewujudkan target. Gadis cantik bergaun putih korban diskriminasi ini merasa sepi dan gelisah dalam usaha merealisasikan harapan.