Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Penulis Cantik yang Kesepian: Buat Apa Menulis Kalau Tak Dimengerti?

1 Mei 2018   06:12 Diperbarui: 1 Mei 2018   08:21 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Honestly, kemarin terpaksa sekali Young Lady cantik menulis fiksi. Bentuk spesial dari Melodi Silvi. Sebagai reminder untuk fokus pada malam Nisfu Sya'ban. Dilatarbelakangi lagunya Maher Zain, This Worldly Life. Fiksi cantik yang ditulis dengan keterpaksaan. Tterpaksa menulis, begitulah intinya.

Jujur saja ya. Young Lady cantik sedang malas-malasnya menulis fiksi. Malas yang benar-benar malas. Tak ada gairah menulis cerita. Seperti orang lesu darah. Kalau kata Marcel, hampa.

Pangkal masalahnya, kurang dimengerti. No no, bukannya Young Lady tak tahu apa masalahnya. Justru masalahnya adalah, Young Lady ingin dimengerti, tapi tak pernah dimengerti.

Young Lady mau ajak Kompasianer main truth or dare sebentar. Lebih banyak truthnya ya. Coba jujur sama Young Lady cantik, adakah yang mengerti pola dan style cerita-cerita Young Lady selama ini? Adakah yang paham soal personal branding, pergantian cerita dengan tokoh yang sama, hanya rotasi peran saja yang sedikit berbeda? Ayo jujur, pasti tak ada yang paham kan? Mengakulah, jangan tipu Young Lady cantik.

Yakin seratus persen. Pasti tak ada yang mengerti. Semuanya bingung. Pasalnya, kalian tak bisa mengikuti rotasi pergantian judul cerita dan tema. Judul-judul cerita dan tema berbeda, tapi tokoh utamanya sama dan tokoh-tokoh pendukungnya hampir sama. Young Lady yakin, Kompasianers sebenarnya tak pernah paham alurnya Young Lady seperti apa.

Trus, selama ini kalau tak paham, berarti kalian setengah hati membaca tulisan dan memberikan vote/komentar ke tiap tulisan cantiknya Young Lady? Kejujuran yang diinginkan Young Lady sekarang ini. Jika memang sejak awal tak pernah paham, dan memberi nilai atau komentar dengan setengah hati, selama ini Young Lady telah ditipu. Mungkin kalian blogwalking ke sini, baca-baca tulisan cantik di sini, hanya karena kasihan atau tak enak hati. Sangat klise. Dan Young Lady tak suka itu.

Jangan-jangan, pujian yang kalian berikan semuanya palsu. Hanya kamuflase. Young Lady sangat sulit percaya orang lain. Jangankan yang baru kenal, yang sudah lama kenal pun jangan harap bisa dipercaya! Young Lady hanya percaya Allah saja.

Apa selama ini Kompasianer membohongi Young Lady dengan memberikan nilai palsu dan komentar palsu? Nilai yang diberi hanya karena rasa kasihan, padahal ujung-ujungnya tak pernah memahami sedikit pun. So, Young Lady akan terlalu murah hati bila bbegitu saja melempar ending cerita ke Kompasiana. Lebih baik disembunyikan. Buat apa menayangkan akhir cerita bila toh ujung-ujungnya tak ada yang mengerti? Biarkan menggantung saja. Padahal endingnya sudah lama dibuat. Sudah selesai.

Random, mungkin begitulah kesannya di mata Kompasianer dan admin. Kesannya asal saja membuat cerita. Atau barangkali tidak kreatif karena tokoh-tokohnya sama. Nope, tak seperti itu. Kalian tak mengerti. Sudah pernah Young Lady jelaskan di beberapa artikel. Tak mau cantumkan linknya di sini. Kompasianers sudah besar, sudah dewasa, pasti bisa cari sendiri tulisan cantik yang mana kalau memang benar-benar peduli dan ingin tahu. Karena sejatinya, Young Lady tak pernah memanjakan pembaca. Membiarkan saja mereka mencari, jika memang sungguh-sungguh peduli. Young Lady tak mau repot-repot menyuapi pembaca dengan segala informasi dan cerita, sampai mereka menelannya bulat-bulat. Tidak, Young Lady cantik tidak seperti itu. Bagi Young Lady, pembaca bukanlah anak manja yang harus terus disuapi. Biarlah kalau pembaca sungguh-sungguh mau tahu, ikuti saja polanya Young Lady. Atau baca tulisan yang sudah-sudah. Simple kan? Toh kalau sungguh-sungguh dicari, alurnya bisa terbaca juga. Kalian saja yang berpikiran sempit dan tidak memahami keindahan ranah fiksi yang magis sekaligus mistik.

Lantaran tak paham, mungkin itu sebabnya cerita-cerita Young Lady cantik jarang mendapat label pilihan apa lagi HL. Bagaimana mau direview, mengerti saja tidak? Iya kan? Mana banyak lirik lagunya. Memangnya ini naskah drama musikal? Mungkin begitu pikiran semua orang di sini.

Sia-sia saja Young Lady jelaskan berulang kali. Coba kalian mau buka mata, hati, telinga seperti lagunya Maliq & D Essential. Pasti kalian mengerti makna di balik selipan lirik-lirik lagu di tiap cerita. Unfortunately, zaman sekarang orang tak mau dipusingkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan makna dan simbol. Kebanyakan lebih suka main praktis saja. Tak mau repot-repot berpikir luas dan cerdas.

Menggabungkan musik dengan tulisan, menggabungkan imajinasi dan logika, menyeimbangkan otak kanan dan kiri melalui fiksi bermuatan musik. Mengasah pikiran cerdas dan brilian. Menggabungkan seni musik, seni sastra, keseimbangan, dan kecerdasan. Itulah yang sedang berusaha dilakukan Young Lady. Bermain fiksi sekaligus bermain musik. Ah, sayang kalian tak pernah mengerti. Tak semua orang suka musik. Lebih tepatnya lagi, tak semua orang suka dan bisa bermain musik.

Sebab bagi Young Lady, menulis fiksi tak sekadar menulis fiksi. Bukan hanya duduk di depan PC lalu ide terangkai menjadi kata indah. Tidak, prosesnya tidak segampang itu. Ada pencarian lain, pencarian yang lebih dalam: lagu dan musik. Menentukan lagu dan musik apa yang cocok untuk isi ceritanya. Kalau kalian pikir mudah, itu cukup sulit. Perlu berpikir panjang.

Tak hanya itu, fiksi cantiknya Young Lady pun menyelipkan idealisme tertentu. Ya, idealisme. Jangan kira hanya Umar Kayam, Pramoedya Anantatoer, Taufik Ismail, Y. B. Mangunwijaya, W. S. Rendra, Orhan Pamuk, Harper Lee, Dann Brown, Habiburrahman El Shirazy, Chairil Anwar, dan sastrawan ngetop lainnya yang bisa memunculkan idealisme dalam karya sastra mereka. Fiksianer murahan seperti Young Lady juga punya idealisme sendiri dalam karya cantiknya. Membuat tokoh dan penokohan berlatar belakang Muslim Non-Pribumi, bahwa Muslim Indonesia tak hanya milik Pribumi saja. Yang berkulit putih, bermata sipit, bermata hijau, bermata biru, atau yang berkulit hitam di Indonesia pun berhak menjadi bagian dari Muslim Indonesia. Dan sebagian besar tokoh-tokoh di cerita cantik Young Lady merupakan Muslim yang taat. Ada idealisme terselubung di situ.

Selain itu, menyakiti tokoh pria tanpa menyakiti tokoh wanita. Hanya boleh menyakiti tokoh pria. Tokoh wanita tak boleh disakiti. Di tiap cerita, tokoh wanitalah yang digambarkan sering merawat tokoh pria yang sakit parah, tokoh wanita yang mandiri dan kaya-raya walaupun ditinggal mati suaminya yang tampan dan super kaya. Kalau ada tokoh yang harus kecelakaan, menderita penyakit berbahaya, disakiti, ditipu, bangkrut, dimaki, digugat cerai, meninggal, sakit parah sampai tak ada harapan untuk sembuh, dihina, itu haruslah tokoh pria. Jangan tokoh wanita. Itu pun ada idealisme tersembunyi. Ada hawa feminis di situ. Wanita harus kuat dan tidak boleh tersakiti. Biarlah pria saja yang jatuh dan sakit.

Satu lagi idealisme feminis yang lebih membela wanita: vonis infertilitas. Sedikit buka-bukaan ya. Young Lady senang menceritakan tentang sepasang pria dan wanita kaya yang menikah, lalu tidak memiliki keturunan. Ternyata si prialah yang divonis infertilitas karena penyakit. Atau ada pria single yang tidak menikah karena tahu kondisinya sendiri. Realitas sosial sering kali berkata lain. Wanitalah yang lebih banyak disalahkan dalam kasus infertilitas. Faktanya, pria juga bisa salah. Dilansir dari internasional.kompas.com, sekitar 50% penyebab infertilitas pada pasangan suami-istri justru ada pada pria. Nah, Young Lady ingin mematahkan praanggapan bahwa wanitalah yang harus disalahkan karena infertilitas. Tidak semuanya begitu. Biasanya, dalam cerita, digambarkan sosok pria tampan, kaya, sukses, saleh, tetapi mandul.

Young Lady tak pernah main-main dalam menulis cerita. Young Lady sudah punya strukturnya sendiri, sudah terstruktur dan perfeksionis. Semacam kunci dan aturan main dalam menulis fiksi. Especially pada bagian Muslim Non-Pribumi yang taat dan menjadikan dirinya bagian dari Muslim Indonesia. Semacam teriakan hati, jeritan untuk tidak dipandang aneh.

Ideologi dalam karya sastra, itu biasa kan? Jangankan karya sastra, ceramah di rumah ibadah pun bisa bermuatan ideologi tertentu. Finally, dengan serangkaian alasan yang tak mudah dipahami kebanyakan orang, Young Lady jadi makin malas menulis fiksi. Buat apa menulis kalau tak dipahami?

Tak heran, para penulis, seniman, dan ilmuwan sering merasa kesepian. Sebab tak satu pun orang yang memahami jalan pikiran mereka. Hanya Tuhan dan diri sendiri yang memahami.

Minggu kemarin, Young Lady sibuk menerjemahkan Melodi Silvi ke dalam Bahasa Inggris. Sekarang sudah selesai. Young Lady cantik suka kerja keras. Waktu tidur sampai berkurang tak apa-apa, dari dulu sudah biasa. Ada dua adegan yang paling disukai Young Lady saat proses penerjemahan: adegan di bab pertama, saat Calvin shalat di balkon kantornya untuk terakhir kali. Setiap judul cerita Young Lady biasanya berawal dengan momen pengunduran diri Calvin Wan di kantornya. Perpisahan yang menyentuh dengan staf-stafnya, karena mereka harus kehilangan pemimpin perusahaan seperti Calvin. Lalu biasanya berlanjut pada aktivitas Calvin berliterasi setelah ia resign dari perusahaannya. Ngeblog, menulis di web maupun di media jurnalisme warga...ups. Biasanya awalnya begitu. Menulis yang dekat dengan kehidupan, biasanya sosok Calvin digambarkan cerdas, good looking, multitalenta. Menulis yes, bermain musik yes, koreografi yes, mantan model yes. Alim dan dermawan apa lagi. As usual, Calvin dilukiskan selalu memakai jas mahal dan elegan. Mahir bermain piano, koreografi, sangat taat beribadah, dan penyayang anak-anak. Last but not least, tokoh-tokoh wanita di sekeliling kehidupan Calvin seperti biasa sering memakai dress-dress cantik. Kisah Asia rasa Eropa, unsur Islami bertabur unsur Eropa. Kira-kira begitu. Well, kalau mau jujur, sebenarnya tokoh-tokoh wanita yang memakai dress cantik itu cerminan diri Young Lady sendiri, yang konsisten memakai dress sebagai style favorit. Walaupun pakai dress itu kadang terasa panas, berat dan harus tetap anggun kalau bergerak, tapi Young Lady menikmatinya dengan konsisten.

Dan adegan favorit lainnya, adegan di bab pertengahan, ketika Calvin, Adica, Syifa, Revan, dan teman-temannya menari Halay di pesta pernikahan emas Baba dan Anne. Young Lady cantik ingat sekali dua adegan favorit itu. Anehnya, waktu menerjemahkan adegan tarian Halay, Young Lady malah ingat satu-satunya film Bollywood yang paling berkesan di hati Young Lady: Mohabbatein. Ya, Young Lady suka juga kok sama Bollywood. Fleksibel sih. Asalkan filmnya ada unsur cinta, kematian, penyakit, dan musik, Young Lady pasti suka. Entah itu film Indonesia, Hollywood, sampai film India dan telenovela sekalipun. Kalau ceritanya menyentuh dan unsur musiknya juga bagus, Young Lady pasti suka. Nah, waktu mentranslate adegan Calvin menarikan Halay yang notabenenya kebudayaan Turki, Young Lady malah ingat film Mohabbatein. Ingat adegan pesta dansa yang dibuat Aryan-diperankan oleh Shahrukh Khan-di Gurukul. Pak Aryan, Vikram, Samir, dan Karan, semuanya menari kan? Tokoh favorit Young Lady di Mohabbatein adalah Karan Choudrey yang diperankan Jimmy Sherigil. Figurnya yang kalem, luar biasa tampan, bikin perempuan meleleh, perjuangan cintanya yang luar biasa dengan seorang janda bernama Kiran, dan charming malah membiaskan imajinasi Young Lady dari Calvin Wan ke Karan Choudrey. Young Lady membayangkan Calvin jadi Karan...ups. Dulu sampai-sampai Young Lady hafal gerakan tariannya, dan sering dilakukan. Sekarang sudah lupa lagi.

Ok, back to focus. Sekarang terjemahannya sudah selesai. Selesai dari awal sampai akhir. Namun masih teronggok di laptop begitu saja, entah mau diapakan. Young Lady sudah lelah.

Lelah karena tak ada yang mengerti. Sekali lagi, buat apa menulis kalau tak ada yang mengerti? Buat apa tiap hari tulisan masuk NT tapi tak ada yang mengerti? Buat apa namanya dicatat sebagai salah satu Kompasianer perempuan paling menginspirasi beberapa minggu lalu kalau isi tulisannya tak ada yang mengerti? Sedih. Young Lady hanya ingin dimengerti. Ada lagunya juga kok. Karena wanita ingin dimengerti.

Menyedihkan ya, Young Lady ini. Tak ada yang mengerti kecuali Tuhan dan diri sendiri...hmmmm. Sering kali kekhasan pemikiran yang dituangkan seorang penulis dalam tulisannya gagal dipahami pembaca. Penulis bukanlah boneka pemuas keinginan pembaca. Penulis punya idealisme, aturan main, dan kebijakan sendiri. Kini, Young Lady cantik menulis dengan tidak bahagia. Sudah lama begitu. Tak ada apa pun atau siapa pun yang bisa mengembalikan bahagia. Tak ada yang peduli dan mengerti. Dari pada tak ada yang peduli dan mengerti, lebih baik menutup hati saja. Tak memberikan celah bagi siapa pun untuk masuk.

So, buat apa menulis kalau tak dimengerti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun