Duduk di kanan-kiri Syifa, Calvin dan Silvi bergantian menghiburnya. Syifa duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Sisa air mata masih membekas. Rambutnya terkuncir rapi.
Rambut Silvi pun terkuncir dengan gaya ponnytail. Silvi dan Syifa punya kebiasaan yang sama: warna pakaian dan hair-do mencerminkan suasana hati mereka. Bila rambut terurai, saat itulah suasana hati mereka cukup baik. Rambut yang terkuncir dan pakaian berwarna gelap menandakan mood mereka buruk.
"Jangan sedih lagi, Syifa. Adica akan baik-baik saja. Bandung-Denpasar masih bisa ditempuh dengan mudah. Kamu bisa bertemu Adica kapan pun kaumau." Calvin berkata menenangkan. Menatap sepupu iparnya itu penuh simpati.
"Aku tahu, Calvin. Tapi aku merasa takkan bisa bertemu suamiku lagi." lirih Syifa.
Tangan Silvi terulur. Membelai halus jemari Syifa. Merengkuhnya, lalu berkata lembut.
"Auntie Syifa pasti ketemu lagi sama Uncle Adica."
"Nah itu, Silvi benar. Jangan khawatir. Itu hanya perasaanmu."
Perkataan Calvin dan Silvi disambuti anggukan lemah Syifa. Perlahan diusapnya sisa air mata. Lalu ia meraih tasnya.
"Aku harus pulang. Silvi Sayang, kamu pulang juga ya. Sama Ayah."
Mendengar itu, Silvi menggeleng kuat. Bibirnya terkatup rapat. Tatapannya sedingin laut Baltik ketika bertemu pandang dengan Calvin.
"Sayang, kita pulang ya. Kita tinggal sama-sama lagi." bujuk Calvin.