Pagi yang dingin berhujan. Gumpalan awan menutup separuh langit. Suram, sesuram hatinya.
Seharusnya hatinya tak perlu diliputi kesuraman seperti ini. Bukankah hari ini adalah hari bahagianya? Sejatinya, hari pertunangan menjadi momen bahagia bagi mereka yang menjalaninya.
Meski demikian, konvensi tak tertulis ini luput ia rasakan. Bukan sekeping bahagia yang hadir. Melainkan keraguan dan kesakitan.
Keraguan mungkin wajar. Tapi bagaimana dengan kesakitan? Apa yang sesungguhnya terjadi para pria tampan berdarah Tionghoa ini?
"Calvin...kenapa masih di sini? Ayo turun Nak, ini hari bahagiamu."
Seorang pria setengah baya yang masih terlihat gagah dan memancarkan sisa-sisa ketampanan di masa lalu mendekat. Menghampiri putra tunggalnya yang masih berada di posisinya semula. Sofa hitam berbentuk dadu di tengah balkon menjadi saksi bisu kegundahan hati Calvin.
"Sebentar lagi, Pa." jawab Calvin tanpa mengalihkan pandang dari layar laptopnya.
"Hei, what's the matter with you? Anak Papa kok sedih di hari pertunangannya?" Sang Papa, tak lain Tuan Halim si pengusaha sukses itu, duduk di samping putranya. Menatap mata Calvin. Berusaha menyelami isi hati terdalamnya.
Pertanyaan sulit. Bagaimana Calvin harus menjawab? Ada banyak hal yang dipikirkannya. Hatinya dibebani berjuta tanya. Sudah tepatkah keputusannya? Mantapkah hatinya membawa Calisa ke jenjang yang lebih serius? Mengubah adik menjadi tunangan? Tidak sulitkah itu semua?
"Kepalamu masih sakit?" tanya Tuan Halim lagi, kali ini lebih lembut.
"Sedikit. Tapi tidak separah kemarin." Calvin menjawab sekenanya. Enggan berbagi rasa sakit pada orang lain. Ia masih bisa mengatasinya sendiri.
Tuan Halim menepuk lembut punggungnya. Merangkulnya dengan sikap fatherly. Sorot kehangatan terpancar jelas di matanya.
"Be strong, Calvin. Papa yakin, ini hanya sementara. Asalkan kamu disiplin menjalani terapi, menuruti saran dokter, dan banyak berdoa, insya Allah kamu akan sembuh."
Kata-kata Tuan Halim begitu lembut. Ia memotivasi anaknya. Meyakinkan bahwa Carcinoma cerebellum dapat dilawan dengan doa dan pengobatan medis. Sayangnya, Calvin tak yakin. Ia selalu merasa dirinya akan meninggal sebentar lagi.
"Mama tidak sembuh. Pada akhirnya Mama meninggal," ungkap Calvin dingin.
"Papa percaya, kamu jauh lebih kuat dari Mama. Bukan berarti Mamamu tidak kuat dan tegar, tapi..."
"Sudahlah. Cepat atau lambat, aku akan meninggal karena kanker otak. Sudah jelas." sela Calvin.
Tuan Halim menatap anaknya masygul. Ikhlaskah dirinya bila harus kehilangan lagi untuk kedua kali? Sudah ditinggal istri, haruskah ia ditinggal anak satu-satunya? Entah bagaimana jadinya bila hal itu sampai terjadi.
"Jangan khawatirkan hal yang belum pasti. Sekarang, lebih baik kamu siap-siap. Lalu turun ke bawah. Pestanya sebentar lagi dimulai." kata Tuan Halim setelah terdiam sejenak.
Calvin menurut. Bangkit dari sofa, melangkah pelan meninggalkan balkon. Sedikit kehilangan keseimbangan saat berada di dekat pintu. Akhir-akhir ini, sistem koordinasinya terganggu. Vitalitasnya menurun drastis. Tiga kali sesi kemoterapi dan radiasi tak membawa progres. Justru menambah dosis kesakitan di tubuhnya. Hebatnya, Calvin masih bisa bekerja di perusahaan keluarga dan menulis artikel setiap hari untuk media jurnalisme warga tempatnya menjadi kontributor.Â
Sebagai calon penerus perusahaan, Calvin menempati kedudukan tinggi di sana. Tuan Halim mempersiapkan anak tunggal super tampannya itu untuk menjadi penerus perusahaan menggantikan dirinya. Sedangkan kegiatan menulis, Calvin jadikan sebagai salah satu terapi penyembuhan. Dengan menulis, ia bisa berbagi dan belajar. Bahkan berkorespondensi dengan blogger hebat lainnya.
Dokter spesialis Onkologi yang menanganinya pun menyarankan hal yang sama. Menjadikan menulis sebagai terapi penyembuhan. Praktis, sukseslah Calvin Wan menjadi blogger terkenal. One day one article setiap hari. Konsisten menulis artikel-artikel bertema ekonomi, politik, dan humaniora. Blogger tampan yang dipuja banyak blogger wanita. Blogger super tampan yang membuat iri para blogger pria karena konsistensi dan daya pikatnya.
Banyak blogger wanita mengejar-ngejar cinta Calvin Wan. Namun siap-siap saja patah hati. Hari ini, ia akan bertunangan dengan seorang penulis cantik bernama Calisa Karima. Sama seperti Calvin, Calisa juga seorang blogger. Gadis cantik keturunan Sunda-Belanda yang bermata biru dan sering dianggap berbeda oleh kebanyakan orang. Meski ia tidak suka saat perbedaan itu disebut-sebut. Nama dan prestasinya tak hanya di bidang literasi. Calisa pun menjejaki dunia broadcasting dan modeling. Ia pernah menjadi model dan penyiar radio. Ajang duta wisata pun pernah ditekuninya. Beberapa kali Calisa dipercaya menjadi motivator dan mengisi seminar motivasi.
** Â Â Â
"Hai My Stubborn Sister. How beautiful you are," sapa Calvin. Terpana memandangi kecantikan gadisnya. Dalam rangka pesta pertunangan, Calisa mengenakan gaun putih berhiaskan butiran mutiara di bagian tengahnya. Rambutnya dihiasi hairpiece putih berformat kepingan salju. Cantik dan anggun sekali sosoknya.
Calisa tertawa. Mencubit gemas lengan Calvin. "Masa panggilan sayangnya diganti? Masih pakai 'sister' lagi. Bukan Calvin Sayang...bukan 'sister' lagi. Tapi..."
"Ah, I know. Fiance. Right?" Calvin tersenyum, membelai lembut kedua pipi Calisa.
"Nah begitu...jadi calon tunangan yang manis dong."
Lagi-lagi keduanya tertawa. Calvin dan Calisa, tipe pasangan serasi yang ceria dan tak banyak drama. Bukanlah tipe drama queen dan drama king yang suka hiperbolis dalam menjalani suatu hubungan. Kalaupun mereka bertengkar, toh pada akhirnya mereka masih bisa bercanda lagi setelahnya.
"By the way, kok aku dipanggil Stubborn sih? Memangnya aku sebandel itu ya?" selidik Calisa.
"Iya, kamu bandel. Keras kepala lagi. Aku aja dibuat bingung gegara ngurusin satu orang aja. Bandelnya kayak gini." Calvin menggoda Calisa. Senang sekali membuat gadis itu kesal.
"Calvin Wan! Awas kamu ya! Udah mau tunangan juga, masih godain aku terus! Nanti aku pecat kamu!" teriak Calisa gemas.
Mata Calvin membesar nakal. "Yakin mau pecat aku? Nggak bakal kehilangan? Nggak nangis? Nanti nyariin aku lho...nanti kangen."
"Nggak tuh. Aku bisa cari tunangan sekaligus kakak baru."
"Oh, gitu ya. Okey, carilah. Memangnya siapa yang mau sama kamu? Aku mau lihat. Apa dia lebih tampan dariku?"
"Banyaklah yang mau sama aku. Gimana kalo...Calvin Jeremy? Penyanyi terkenal, ganteng, nama dan lagu-lagunya bagus. Calvin yang asli lho ya, bukan kamu. Calvin Wan...Calvin KW, bukan asli."
Ternyata Calisa tak mau kalah. Ia sukses membuat Calvin gemas pula. Belum sempat Calvin membalas godaan Calisa, Tuan Halim mengingatkan mereka. Acara pertunangan akan segera dimulai. Calisa tersenyum puas. Senang karena Calvin gagal menggodanya lagi.
Dengan lembut, Calvin menuntun Calisa. Para tamu undangan telah datang. Terkesan melihat Calvin dan Calisa. Calvin yang tampan mengenakan tuxedo Dolce and Gabbana, Calisa yang cantik dengan gaun putihnya. Mereka berdua tampak sangat serasi. Kemistri yang tertangkap kuat.
Sebagian besar tamu undangan kagum, sebagian kecil ragu. Betulkah Calvin mencintai Calisa? Calvin yang tampan dan charming itu, rela memiliki pasangan yang tidak bisa melihat dengan jelas? Tidakkah Calvin memilih Calisa karena rasa kasihan atau ingin memanffaatkannya saja?
** Â Â Â Â
Cincin berlian itu tersemat di jari manis mereka. Sesaat tadi Calisa sedikit kesulitan saat memakaikan cincin di jari manis Calvin. Tapi ia bertekad melakukannya sendiri, tak ingin dibantu. Para tamu bertepuk tangan. Bisik-bisik terdengar di seluruh ruangan. Ada yang salut, ada pula yang iri.
Ini semua seperti fatamorgana. Benarkah ada kisah cinta semanis ini di dunia? Seorang pengusaha muda, rupawan, dan kaya-raya, melamar wanita yang tak sempurna? Meski tak bisa dikatakan tidak cantik? Wanita itu cantik, namun ada kekurangan yang terlihat jelas dalam dirinya.
Dari pintu masuk, terlihat seorang laki-laki muda berkemeja putih sederhana baru saja tiba. Ia berpakaian paling sederhana di antara tamu undangan lainnya. Celana, kemeja, dan sepatunya bukan dari brand ternama. Bahkan lelaki itu datang tanpa mobil. Walau sederhana, wajahnya sangat tampan. Perpaduan wajah Kaukasia yang putih menawan dan kesan "Njawani" yang masih membekas. Nyatanya, dia memang keturunan Jawa-Jerman-Skotlandia. Amat berbeda dengan Calvin yang memesona karena ketampanan ala orientalnya.
Si lelaki berkemeja putih sederhana datang terlambat. Tepat ketika prosesi pertunangan selesai. Namun pesta masih berlanjut. Ia berjalan pelan di antara kerumunan tamu, sesekali tersenyum dan mengucapkan permisi. Suara barithonnya terdengar lembut dan empuk. Sampai akhirnya ia tiba di depan Calvin dan Calisa.
"Albert...?" panggil Calisa perlahan, tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Maaf aku terlambat. Kamu cantik sekali, Karima."
Hati Calisa bergetar hebat. Begitu pula tangannya yang masih digenggam erat oleh Calvin. Calvin merasakan getaran itu. Getaran cintakah? Cinta pada dirinya atau pada Frater tampan di hadapan mereka ini?
"Selamat ya, Karima." ucap Albert, tersenyum lembut.
"Terima kasih. Aku senang kamu mau datang, Albert."
Inilah yang ditakutkan Calvin. Inilah yang membuatnya resah dan sedih tadi pagi. Sudah tepatkah keputusannya? Benarkah Calisa sudah bisa menerima dan mencintainya? Jawabannya terbuka di depan mata: Calisa masih mencintai Albert.
Setelah Albert berlalu dari hadapan mereka, Calisa tak ragu mengutarakan kebahagiaannya. Ia ceritakan semuanya pada Calvin. Seakan Calvin masihlah kakaknya, bukan tunangannya.
"Oh Calvin, aku senang Albert datang. Bahkan dia masih memanggilku dengan nama belakangku, Karima. Persis seperti dulu ketika pertama kali aku mengenalnya. Perlu kamu tahu ya, Calvin Sayang. Albert mengenalku bukan karena buku-bukuku atau prestasiku, tapi dia mengenali pribadiku. Aku bahkan tidak bercerita siapa aku sebenarnya. Dia tahu sendiri."
"I see..." balas Calvin, sesuatu runtuh perlahan di hatinya. Inikah tujuan akhirnya? Pertunangan ini hanya akan berakhir menyakitkan.
"Albert mengagumiku bukan karena prestasi, tapi karena hati dan kepribadianku. Prestasi bisa saja terlupakan, tapi hati dan kepribadian tidak. Sama halnya seperti popularitas. Berbeda denganmu yang pertama kali menyukaiku karena kagum pada prestasiku. Sorry to say...Albert tetaplah belahan jiwaku. Karena dia tidak melihat diriku sebagai Calisa yang terkenal, tapi melihatku sebagai diriku sendiri."
Ucapan Calisa sungguh menusuk perasaan. Tak tahukah Calisa betapa sakitnya hati Calvin? Sakit sekali rasanya dibanding-bandingkan dengan orang lain di masa lalu.
"Calvin, kamu tahu kan? Albert tidak suka menggoda, tapi tetap menyenangkan. Dia lembut, penurut, baik hati, dan tidak suka berdebat. Tidak keras kepala. Menurutku, dia manis. Bisa menjaga perasaan orang dan tak gengsi meminta maaf duluan. Albert bahkan jauh lebih Islami dari orang-orang Islam sebenarnya. Dia mau mempelajari sesuatu yang tidak disukainya, lalu menjadi suka. Buktinya, dia mau menyanyikan lagu yang kusuka dan pada akhirnya dia sendiri menyukai lagu yang aku suka itu."
Lupakah Calisa bahwa ia tak mungkin lagi mengharapkan Albert kembali? Albert terikat kaul kekal, sementara Calisa sendiri baru saja bertunangan dengan Calvin. Calvin hanya bisa mendengarkan dan menanggapi ungkapan hati Calisa dengan setengah hati.
Bukan hanya jiwanya yang sakit. Perasaan tertekan itu pun berpengaruh pada tubuhnya. Sakit di kepalanya kembali terasa. Seperti ada ribuan jarum jahat yang menusuk dari dalam. Makin lama makin menyakitkan. Refleks ia melepaskan tangannya dari Calisa.
"Calisa, aku ke balkon sebentar." ujar Calvin lirih, lalu bergegas pergi.
Lama setelahnya, Calvin tak juga kembali. Calisa mulai resah. Bisik-bisik para tamu semakin menyudutkannya. Ia resah dan cemas. Diputuskannya untuk menyusul Calvin. Ia tak peduli pada bisikan para tamu undangan yang kontra terhadap pertunangan ini. Prioritasnya adalah kesehatan Calvin. Calisa tahu persis bagaimana keadaan tunangannya.
** Â Â Â
Calvin menyandarkan tubuhnya ke pilar. Rasa sakit di kepalanya terasa kian menyiksa. Kanker ini mengganas di saat yang tidak tepat. Mengapa ia harus sedih dan sakit di hari pertunangannya?
Indahnya balkon luas ini, berikut dengan ornamen-ornamen kayu di beberapa sisinya, tak menyurutkan kesedihan di hati Calvin. Ia sedih, sangat sedih dengan realita ini. Ternyata Calisa masih mencintai Albert. Ia pikir, keputusannya tepat untuk melamar Calisa. Asumsinya, Calisa sudah membuka hati untuk menerima cinta yang baru.
Nyatanya belum. Masih tersisa ruang lebih banyak di hati Calisa untuk Albert. Albert yang egois, dingin, tak pernah punya waktu, dan tak bisa membahagiakan Calisa. Dibandingkan Calvin, Albert jelas tak punya apa-apa. Calvin bukan hanya punya waktu. Ia bisa memberikan kebahagiaan dalam bentuk materi dan kasih sayang yang cukup untuk Calisa. Namun Calisa tak menyadarinya.
Setetes darah jatuh ke lantai. Calvin tahu dari mana darah itu berasal. Tergesa-gesa ia melangkah ke luar balkon. Tepat di samping pintu balkon terdapat wastafel mungil. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan keran. Membiarkan air mengalir, satu tangannya yang lain menyeka darah yang mengaliri hidungnya. Sakit di kepalanya tak sebanding dengan sakit di hatinya. Calvin Wan bukanlah Arif Albert. Harusnya Calisa tahu itu.
Wastafel putih itu ternoda darah. Calvin berusaha menyeka bersih darahnya sendiri. Tepat pada saat itu, terdengar derap langkah disusul suara sopran memanggilnya.
"Calisa?" Calvin terperangah, tak menyangka Calisa menyusulnya.
"Aku mengkhawatirkanmu, Calvin Sayang." desis Calisa, mendekap erat pria yang beberapa menit lalu bertunangan dengannya.
"Maaf. Aku...aku kelewatan ya?"
"Tidak apa-apa. Sudah kumaafkan," Calvin berujar lembut. Membelai rambut Calisa.
"Oh terima kasih. Hatimu lembut, Calvin. Aku tidak salah pilih. Kamu tidak akan meninggalkanmu, kan?"
"Meninggalkanmu? Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu, Calisa."
Kelegaan mewarnai wajah Calisa. Ia memeluk Calvin makin erat. Tangan kanannya terulur, menghapus sebercak darah yang masih tersisa.
"Ada darah di bajumu," bisik Calisa halus.
"No worries, Calisa."
"Pasti aku telah membuatmu sakit. Pertunangan ini juga menyakitimu, kan? Makanya kamu tidak menulis hari ini. Kamu tidak menulis karena kamu sakit. Iya, kan?"
"Aku tidak menulis bukan karena aku sakit, Calisa. Tapi karena aku ingin memastikan hari pertunanganku berjalan sempurna. Jika aku menulis, konsentrasiku terbagi. Hari ini, seluruh pikiranku, perhatianku, dan cintaku tercurah padamu."
"Oh Calvin...so sweet. Thanks ya."
Kembali lagi Calvin dan Calisa berpelukan erat. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas dan Escada The Moon Sparkel berpadu dari tubuh mereka berdua. Lama keduanya berpelukan dan bertatapan.
"Calvin, kuharap aku belum terlambat."
"Terlambat untuk apa?"
"Terlambat untuk mencintaimu. Maafkan aku jika aku sering membandingkanmu dengan Albert. Aku sadar, Calvin Wan dan Arif Albert itu berbeda. Maaf ya..."
Calvin menatap lembut mata Calisa. "Kamu belum terlambat, Calisa. Jika kamu ingin mencintaiku, cintai aku sebagai Calvin Wan. Jangan mencintaiku sebagai Arif Albert."
Ini sebuah permintaan. Mampukah Calisa memenuhinya?
** Â Â Â
Dimana dirimu
Ingatkah padaku
Ku selalu di sini
Meniti bayangan
Kuterimakan keadaanku
Mencintaimu tanpa mampu memiliki
Kau yang terindah mengisi aku
Di sendiriku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku
Tersadarkan aku
Ku tak mampu berpaling
Ku selalu di sini
Meniti bayangan
Kuterimakan keadaanku
Mencintaimu tanpa mampu memiliki
Kau yang terindah mengisi aku
Di sendiriku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku
Tak mungkin kuhindari
Cinta hanya untukmu
Meski ada yang lain
Yang lain di sampingmu
Kuterimakan keadaanku
Mencintaimu tanpa mampu memiliki
Kau yang terindah mengisi aku
Di sendiriku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku (Isyana Sarasvati-Kuterimakan).
** Â Â Â
Ingatan Calisa kembali memutar rekaman momen pertunangannya beberapa bulan lalu. Kini tak ada lagi senyum bahagia itu, nuansa putih menawan yang melingkupi pesta pertunangan itu, dan kata-kata romantis itu. Yang ada hanyalah nuansa putih berbalut kesuraman di sekeliling koridor rumah sakit.
Rumah sakit? Mengapa Calisa ada di sana? Semata karena Calvin.
Sehari setelah pertunangan, Calvin ditemukan jatuh pingsan di balkon. Sebentuk tab berada di pelukannya. Ternyata ia setengah jalan menuliskan artikel untuk media citizen journalism hari itu. Bagian dari komitmen one day one article yang dijalaninya. Sayang sekali, Calvin gagal menyelesaikannya.
Kondisi Calvin kritis. Sejak saat itulah ia menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Tim dokter terbaik, peralatan medis tercanggih, dan berbagai langkah medis tak mampu membantu Calvin melewati masa kritisnya. Membawanya ke luar negeri untuk menjalani pengobatan pun tak mungkin.
Tuan Halim pasrah dan berserah diri. Meski hatinya hancur, meski jiwanya pedih tak terkira membayangkan kehilangan besar yang akan dialaminya bila putra tunggalnya pergi menyusul istrinya. Maka, Tuan Halim menyiapkan diri. Menguatkan hati. Menata jiwa, membangun ketegaran. Mempersiapkan apa pun permintaan terakhir Calvin.
Bila Tuan Halim sudah pasrah, Calisa justru masih menyimpan harapan. Ia berharap Calvin akan sembuh. Selama menemani dan merawat Calvin, ia melakukan banyak perenungan. Memperbaiki diri, memeriksa kedalaman hatinya. Benarkah ia benar-benar mencintai Calvin Wan seutuhnya? Bukan mencintainya sebagai Arif Albert? Kejam sekali bila Calisa mencintai Calvin sebagai orang lain, bukan sebagai dirinya sendiri.
Perenungan itu membawa Calisa pada titik nadir dalam hidupnya: cinta. Cinta yang sebenar-benarnya. Ya, Calisa mencintai Calvin Wan seutuhnya. Ia tak lagi mencintai Calvin sebagai Albert. Ia telah mampu menerima dan mencintai diri Calvin setulus-tulusnya.
Sampai akhirnya, di sinilah kini dia berdiri. Di ruang ICU dengan elektrokardiograf yang terus berpacu pelan. Peralatan kedokteran lainnya hadir sebagai alat penunjang kehidupan. Berjam-jam lamanya Calisa di sini. Berkeras mendampingi Calvin, apa pun yang terjadi. Dia menolak dengan halus saat Tuan Halim ingin menggantikannya.
Calisa bertekad menjadi seseorang yang selalu ada di sisi Calvin. Bahkan bila kemungkinan terburuk itu terjadi, Calisa ingin menjadi orang pertama dan terakhir yang dilihat Calvin sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Tekad Calisa teramat kuat.
"Calvin...kuharap aku belum terlambat. Masih bisakah aku mencintaimu?" Calisa terisak. Menggenggam tangan Calvin. Betapa dingin tangan itu, betapa rapuh jemarinya.
Calvin menatap Calisa lembut. Ada pancaran keikhlasan di sana. Keikhlasan yang berpadu dengan kelembutan. Detik berikutnya, Calisa tersadar. Dalam kondisi sakit sekali pun, Calvin tetaplah tampan. Seraut wajah pucat itu tak berkurang ketampanannya.
"Aku ikhlas," lirih Calvin.
"Aku terima keadaanku. Mungkin kamu ingin mencintaiku sebagai Arif Albert, bukan sebagai Calvin Wan. Mungkin aku hanya kamu anggap sebagai pengganti Albert. Apa pun itu, aku ikhlas asalkan membuatmu bahagia."
Air mata Calisa berjatuhan. "Tidak Calvin, tidak. Percayalah, aku sudah melakukan banyak perenungan selama beberapa bulan terakhir. Kini aku sadar. Aku menyayangimu seutuhnya, aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku cinta Calvin Wan."
Jarak Calisa kian dekat. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Calvin dan Calisa berpelukan. Menyalurkan cinta tanpa kata. Akankah kisah cinta mereka telah memasuki detik-detik terakhir?
"Kamu yang terindah di hatiku, Calvin. Sampai kapan pun, aku takkan menghapusmu dari benakku. Meski aku tak bisa memilikimu selamanya, aku sangat mencintaimu. I love you, Calvin Wan. You will always be my precious."
Apakah Calvin mendengarnya? Dapatkah Calvin merasakan tulusnya cinta Calisa di saat terakhir? Entahlah. Sebab Calvin telah terlelap abadi dalam pelukan Calisa.
** Â Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=h3qUXuqkVak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H