Ketampanan fisik tak menjamin kondisi kesehatan yang prima. Setidaknya, itulah yang dirasakan Calvin. Bertahun-tahun sejak meninggalnya Fransisca. Kondisi kesehatan Calvin terus menurun. Dimulai dari tekanan psikologis, penggunaan obat anti depresan dalam jangka panjang, infertilitas sekunder, dan turunnya fungsi ginjal secara perlahan akibat konsumsi obat-obatan.
Fisik boleh digerogoti penyakit. Namun dalamnya cinta tetap bertahan. Lebih tepatnya, cinta Calisa untuk Calvin. Buktinya, ia bersedia mendampingi Calvin melewati masa-masa terberat dalam hidupnya. Tak sekali pun meninggalkannya. Selalu di sisinya. Merawatnya, mencintainya, menyayanginya sepenuh hati.
Sampai akhirnya, Calvin bangkit dari kesedihan. Mengumpulkan kembali kepingan-kepingan hatinya, ia menyatukannya lagi. Menyusun kebahagiaan dari serpihan hati yang hancur. Meski hidup tak lagi sama, meski pernikahan mereka tak lagi diwarnai kehadiran seorang putri, mereka tetap bahagia. Calvin dan Calisa berjiwa besar. Mampu menerima takdir dengan ikhlas.
Calisalah yang paling memahami kondisi Calvin. Seperti pagi ini. Ia bangun lebih awal, melangkah menyusuri koridor ke kamar Fransisca. Semalam Calvin tidur di kamar mendiang putri mereka. Dibukanya pintu, pelan-pelan dilangkahkannya kaki memasuki kamar.
Sesaat Calisa menatapi wajah suami super tampannya. Seraut wajah oriental yang selalu membuatnya jatuh cinta. Dalam keadaan tidur, Calvin tetap terlihat menawan. Ekspresi wajahnya begitu tenang. Seluruh beban hidup seakan terlepas seketika.
"Kau tetap tampan, Love. Dalam keadaan apa pun..." bisik Calisa. Ia membungkuk, lalu mendaratkan kecupan hangat di pipi Calvin.
Ganjil, pipinya terasa hangat. Tangan kanan Calisa terulur. Suhu panas mengaliri tangannya. Tak salah lagi.
"Ah Sayang...pasti kamu demam lagi." Wanita itu bergumam pada dirinya sendiri.
"Pantas saja kemarin kamu tidur lebih awal. Pukul lima sore sudah tidur, dan belum bangun sampai sekarang. Seharusnya aku lebih peka. Maafkan aku, Sayang."
Perlahan ia membangunkan Calvin. Walau sepercik rasa tak tega menodai hati. Namun, waktu Subuh telah tiba.
Calvin terbangun. Senang mendapati orang pertama yang dilihatnya saat membuka mata adalah Calisa. Lembut disentuhnya tangan istrinya. Ia berkata lembut.
"Good morning, My Lovely Calisa."
"Morning. Ayo bangun, Calvin Sayang. Kita shalat Subuh."
Keduanya beranjak meninggalkan kamar. Shalat Subuh di mushala mungil yang terletak di antara perpustakaan dan studio musik. Calvin menjalankan perannya sebagai Imam sebaik mungkin. Bukan hanya Imam dalam shalat, melainkan pula Imam dalam keluarga. Beruntung sekali Calisa memiliki suami setampan dan sesaleh Calvin Wan.
Usai shalat, mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar kompleks perumahan. Sekadar melewatkan sisa waktu sebelum memulai rutinitas. Tak lama, Calisa sudah meminta Calvin kembali ke rumah. Ia teringat pada bibit bunga lily yang ditanamnya.
"Sabar, Calisa Sayang. Kamu pasti ingin cepat-cepat berhasil ya?" ujar Calvin, tersenyum menawan. Memahami jalan pikiran istri cantiknya.
"Tidak juga. Aku hanya ingin melihat sudah sejauh mana bibit yang kutanam itu tumbuh," balas Calisa jujur.
"Sama saja. But it's ok. Wajar kamu penasaran." Calvin tertawa kecil, lalu menggandeng tangan Calisa kembali ke rumah.
Taman kecil di belakang rumah mereka datangi. Calisa tak sabar ingin melihat benih bunga lily yang ditanamnya. Calvin tak puas-puas memperhatikan raut wajah Calisa. Tersenyum simpul melihat tingkahnya. Jangan kira Calisa saja yang suka menanam bunga. Ternyata, Calvin pun suka melakukannya. Bedanya, Calvin menanam bunga matahari, bukannya bunga lily.
"Hargai proses, Calisa." Calvin mengingatkan dengan lembut.
"Iya, aku tahu. Hanya ingin melihat progresnya dari waktu ke waktu."
Sekilas Calisa melirik pot berisi bunga matahari yang telah berhasil ditanam suaminya. Jauh sebelum Calisa mulai menanam bunga lily, Calvin lebih dulu menanam bunga matahari mulai dari bibitnya. Pekerjaan yang menyenangkan. Mengajarkan kesabaran, penantian, dan arti menghargai proses. Selain itu, menanam bunga melatih kepekaan rasa. Melembutkan hati dan menghaluskan perasaan.
Puas berkutat dengan bunga yang mereka tanam, Calvin dan Calisa bersiap memulai aktivitas. Calisa menyiapkan sarapan, sementara Calvin memastikan bahan-bahan presentasi untuk meeting siang nanti sudah lengkap. Pagi ini Calisa membuat pancake strawberry sebagai menu sarapan. Salah satu makanan favorit Fransisca. Sambil mengaduk adonan, wanita berdarah Sunda-Melayu-Belanda itu terkenang Fransisca. Sering kali putrinya itu membantunya membuat pancake sewaktu ia masih hidup. Tak jarang berbuat sedikit nakal dengan mencolek hidung Calisa dengan tepung. Calisa akan tertawa, balas mencoreng muka menggemaskan putrinya dengan adonan yang separo selesai. Kenangan manis yang takkan terulang lagi.
"Fransisca...pancakenya sudah siap, Sayang." Tanpa sadar Calisa memanggil nama Fransisca tepat ketika pancake buatannya selesai dipanggang.
Sejurus kemudian Calisa mengangkat pancake strawberry buatannya dari dalam oven, melakukan plating dengan cantik, dan membawanya ke lantai atas. Berjalan menyusuri koridor, sampai akhirnya tiba di depan pintu kamar Fransisca.
"Calisa, what are you doing?"
Suara bass milik Calvin memanggilnya. Refleks Calisa membalikkan tubuh. Melihat pria pendamping hidupnya itu telah berpakaian lengkap dengan membawa laptop dan tab.
"Aku mau antarkan ini buat Fransisca." sahut Calisa disertai wajah innocentnya.
Calvin terhenyak. Menatap istrinya lekat. Hatinya sedih bercampur iba. Empati yang dalam merasuki jiwanya. Rupanya Calisa masih belum rela Fransisca meninggal. Sebenarnya, siapakah yang lebih hancur? Calvin atau Calisa?
"Calisa," kata Calvin lembut, sangat lembut.
"Fransisca sudah tidak ada."
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Wajah Calisa memucat. Sinar matanya meredup. Lalu ia berucap.
"Astaghfirulah...astaghfirulah. Calvin, I'm so sorry. Oh no...apa yang telah kulakukan?"
Nampak terguncang, Calisa hampir menangis. Calvin memeluknya. Membelai-belai lembut rambut panjang wanitanya. Mengusap lelehan bening yang terjun bebas dari kelopak matanya.
"Tidak apa-apa Calisa, tidak apa-apa. Kamu hanya butuh waktu..." bisik Calvin, mempererat dekapannya.
"Maafkan aku, Calvin. Maaf..." Calisa memohon. Air mata membasahi pipi putihnya.
"Aku yang harus minta maaf, Love. Gegara aku, putri kita meninggal. Ini semua salahku."
Calvin memapah Calisa ke lantai bawah. Mendudukkan wanita cantik itu di sofa, menggenggam erat kedua tangannya. Calisa kian merasa bersalah. Ia menyesali dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia melakukan kesalahan sefatal itu.
"Calisa, are you ok?" Calvin bertanya lembut. Kecemasan tercermin di matanya.
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Kamu baik-baik saja, kan? Kamu demam lagi, Calvin. Ada yang sakit?"
"Tidak, Calisa. Aku baik-baik saja."
Ada percikan ketenangan menetesi hati Calisa. Ia hanya berharap Calvin baik-baik saja.
"Calisa, maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Ada meeting, dan aku harus ke rumah Mama. Is it ok?"
Calisa mengangguk. Tak masalah. Toh sepanjang hari kemarin Calvin telah menemaninya.
"Istriku pengertian sekali."
Calvin mendekatkan wajahnya pada Calisa. Jantung Calisa berdetak dua kali lipat lebih cepat. Ia dapat merasakan ketampanan Calvin dari dekat. Tak hanya ketampanan di luar, melainkan pula ketampanan di dalam. Mengapa Calvin Wan begitu tampan? Senyumnya, tatapan matanya, lekuk sempurna di wajahnya, semuanya benar-benar memesona. Ditambah lagi kesabaran, kebaikan, dan kelembutan hatinya. Ccalvin memikat di mata Calisa. Amat bersyukur dirinya bisa mengenal lelaki setulus itu.
"Jaga dirimu baik-baik. Sampaikan salamku untuk keluargamu. Have a nice day, My Lovely Calisa."
Setelah berkata begitu, Calvin mencium kening Calisa. Lagi-lagi bahasa cinta, pikir Calisa bahagia. Dirinya dan Calvin punya beberapa kalimat khusus yang rutin mereka ucapkan setiap hari. Dari luar, terdengar seperti kalimat biasa. Tapi itulah bahasa cinta mereka. Have a nice day salah satunya. Hanya Calvin dan Calisa yang memahami makna bahasa cinta mereka.
** Â Â Â Â Â
Lantai rumah itu kotor luar biasa. Tumpahan tepung dimana-mana, coklat berserakan, ceceran saus, dan lelehan keju mendominasi. Calisa menghela napas. Tak mengerti dengan jalan pikiran Nyonya Lidya. Dalam hitungan jam, lantai yang semula bersih mendadak sangat kotor akibat insiden kecil. Bagaimana cara membersihkannya sebelum acara dimulai?
"Calisa Sayang, sini... jangan pedulikan lantai yang kotor. Kamu letakkan parsel-parsel ini di depan, okey?" Nyonya Lidya berseru panik. Menarik lengan putri bungsunya ke depan meja marmer.
"Tapi Ma, lantainya..."
"Sudahlah. Biar diurus yang lain. Tolong kamu pindahkan ini ya?"
Terpaksa Calisa menurut. Baru saja selesai memindahkan parsel yang akan dibagikan pada para tamu undangan, sebuah mobil memasuki halaman depan. Dua orang wanita cantik turun dari mobil. Wanita berhidung mancung dengan pakaian dan hijab modis. Wajah dan bentuk hidungnya membuat ia sering kali dikira orang India. Dialah Sarah Paramitha, kakak pertama Calisa. Wanita kelahiran 25 Maret yang cerdas dan bertanggung jawab. Terlahir sebagai anak pertama membuatnya paling diharapkan keluarga. Harapan terbesar sebagai penerus keluarga ada di tangan Sarah. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini akan segera menikah dengan seorang enginer berdarah Melayu-India.
Wanita di samping Sarah, jauh lebih tinggi darinya, tak kalah memesona. Dengan rambut sepundak, wajah oriental, dan ekspresi yang dingin namun cantik memikat, dialah Clara Carolina. Tatapan matanya tajam sekaligus merebut hati banyak orang. Pembawaan dan raut wajah seperti itu jelas membuatnya mudah menarik hati banyak pria. Sama seperti Calisa, Clara penyuka binatang. Bedanya Calisa lebih menyukai kucing, sedangkan Clara penyuka berbagai jenis kelinci dan hamster. Ia memelihara hamster dan kelinci di rumahnya dengan penuh kasih sayang. Walau sikapnya dingin, namun ia perhatian dan hangat pada orang-orang yang dicintainya, begitu pula pada hewan-hewan peliharaannya. Banyak pria mengejar-ngejarnya, namun wanita Aries kelahiran 16 April itu masih sendiri. Ia enggan menjalin hubungan serius dengan pria mana pun sebab masih ingin menikmati hidup. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa alumni Universitas Padjadjaran secantik dan sepopuler Clara justru tetap single.
"Hei Calisa..." Sarah menyapa hangat. Memeluk Calisa erat.
Calisa, si bungsu kelahiran 9 September yang "melangkahi" kakak-kakaknya itu, dingin saja menyambut pelukan Sarah. Ia tak terlalu dekat dengan kedua kakak perempuannya. Perbedaan prinsip dan karakter membuat ia menjauhi mereka. Betapa sulitnya Calisa mempercayai orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Hanya pada Allah dan dirinya sendirilah yang ia percayai 100%. Calisa pun memilih jalur karier yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Ia memutuskan mendedikasikan hidupnya sebagai psikolog, hypnotherapyst, dan speech language therapyst. Menjadi praktisi kesehatan, itulah cita-cita Calisa sejak kecil.
"Mau peluk juga dong..." pinta Clara. Wajahnya tak lagi sedingin sebelumnya. Senyuman tipis terbit di sudut wajah cantiknya saat memeluk Calisa.
Lagi-lagi Calisa tetap dingin. Sarah dan Clara bertukar pandang penuh arti. Tanpa diduga, Clara berkata.
"You know, Calisa? Sarah, kakak kita itu, berbuat konyol sekali waktu di mobil. Dalam perjalanan dia memutar lagu dan mencoba menyanyikan liriknya. Tahunya dia salah lirik. Yeee...malu kan? Untungnya cuma aku yang lihat. Coba kalau calon suaminya lihat. Bisa malu tingkat dewa." Clara tertawa renyah, lalu bernyanyi menirukan lagu yang tadi didengarnya.
"Tanha e mein dil, yade sanjota hai...kya karoon haye."
Lucu sekali suara dan ekspresi Clara. Sampai-sampai Sarah ikut tertawa dan bernyanyi bersamanya. Hanya Calisa yang tetap diam. Tersenyum pun tidak. Calisa Karima yang tidak mudah terbuka pada orang lain itu, sulit sekali didekati.
Dua jam kemudian, acara dimulai. Bukan acara biasa. Mengingat ada dua makna perayaan di sini: ulang tahun kematian salah satu anggota keluarga, dan ulang tahun pernikahan kedua orang tua Calisa. Nyonya Lidya dan Tuan Rudy nampak bahagia. Senyum tak henti menghiasi wajah mereka saat menyalami para tamu. Keluarga besar diundang. Seorang ustadz tampan yang cukup ternama di daerah itu pun datang. Dialah yang akan memberikan tausyiah dan doa dalam acara itu.
"Yogi? Oh, akhirnya datang juga! Dimana Vidya, calon adik iparku yang manis? Kok nggak diajak?" Sarah berseru senang. Berlari kecil menyambut calon suaminya yang baru tiba.
Yogi, Calisa melirik pria blasteran Melayu-India itu dari manik matanya. Sekilas saja. Toh ia senang juga melihat Sarah bersama Yogi. Walau si calon kakak ipar tidak respek padanya. Mungkin sang enginer berdarah campuran malu punya adik ipar sepertinya. Adik ipar yang bermata biru dan hanya bisa menjadi aib keluarga karena kondisinya. Sekali lagi Calisa menatap Yogi dengan tatapan dingin. Mataku memang biru, lalu kenapa? Pikir Calisa masygul. Bukan salahnya ia memiliki mata biru. Birunya mata Calisa ia dapatkan karena adanya darah yang lain dalam dirinya. Kita tidak akan bisa memilih seperti apa kita akan dilahirkan.
Waktu kecil, guru agamanya pernah mengatakan pada Calisa kalau matanya bagus. Bule, karena mata itulah Calisa mendapat panggilan seperti itu oleh teman-temannya.
"Matamu indah, Calisa."
Begitulah ucapan lembut Calvin bertahun-tahun lalu. Sukses membesarkan hati Calisa. So, untuk apa Calisa harus menyesali keadaan? Tidak ada yang perlu disesali. Pastinya, Calisa harus berterima kasih. Hadirnya Calvin Wan sedikit-banyak mengobati luka hatinya.
Tuan Rudy memberikan sambutan mewakili keluarga besar. Calisa mengarahkan tatapan pada Papanya. Sorot lembut itu kini berganti menjadi dingin. Di mata Calisa dan kedua kakaknya, Tuan Rudy bukanlah ayah yang baik. Egois, tak pernah dekat dengan anak, dan tak pernah membahagiakan anak-anaknya. Selalu saja yang difokuskan Tuan Rudy adalah kepentingannya sendiri. Wibawa Tuan Rudy sebagai kepala keluarga telah jatuh. Ia hanyalah boneka. Di rumah ini, wanitalah yang berkuasa.
Bila kebanyakan anak perempuan menjadikan ayah sebagai cinta pertama, hal ini tidak berlaku untuk Calisa. Di masa kecilnya, ia punya cinta pertama yang lain. Cinta pertama Calisa di masa kecil adalah sepupu jauhnya sendiri. Sepupu yang mulanya ingin ia jodohkan dengan Sarah.
Tepat ketika sambutan Tuan Rudy selesai, sebuah sedan hitam menepi di halaman depan. Memarkirkan diri persis di belakang mobil milik Sarah dan Clara. Calisa menahan napas. Buru-buru bangkit, lalu bergegas turun ke halaman. Ia mengenali mobil itu.
"Ah, pasti si Calvin." Sarah menebak penuh percaya diri.
"Bukan, bukan Calvin." desis Clara.
"Tapi...orang yang dulu ingin dia jodohkan denganmu."
Benar saja. Menit berikutnya, terdengar suara sopran menyerukan sebuah nama.
"Anton! Long time no see!"
Anton dan Calisa berpelukan. Dialah sepupu jauh yang dimaksud. Cinta pertama Calisa, cinta di masa kecilnya. Jarak usia mereka terpaut sembilan tahun. Hingga kini, Anton masih sendiri. Terlalu sibuk berbisnis membuatnya lupa untuk mencari pendamping hidup. Sempat hadir tawaran menarik dari adik sepupunya ini berupa jodoh yang baik, namun cinta berujung pada kekecewaan. Sarah lebih memilih Yogi dibandingkan Anton.
"Calisa...miss you." ujar Anton tulus. Benar, sudah lama sekali mereka tak bertemu.
Tanpa ragu, kedua sepupu itu berjalan bergandengan tangan. Disambuti tatapan heran dari anggota keluarga dan para tamu. Anton dan Calisa menganggap wajar saling bergandengan tangan dan berpelukan. Toh mereka saudara, meski tidak terikat darah secara langsung. Hanya sepupu jauh. Sebagian kenangan masa kecil Calisa tak lepas dari sepupu jauhnya yang tampan ini. Sarah pun memiliki banyak kenangan manis dengan laki-laki setampan Anton Surya. Sebab dulunya mereka sering berkirim surat. Ya, Anton dan Sarah menjadi teman pena waktu mereka masih kecil. Bahkan mereka berdua masih menyimpan surat-surat kenangan itu. Calisa pernah membaca sebagian surat Anton dan Sarah.
Entah mengapa, jalinan komunikasi mereka terputus. Tetiba saja Anton yang semula dekat dengan Sarah, justru lebih dekat dengan Calisa. Anton yang tampan dan Calisa yang cantik, sering bermain dan berkumpul bersama. Membaca buku yang sama, menonton film yang sama, dan mendengarkan musik yang sama. Calisalah satu-satunya sepupu yang dibolehkan bermain di kamar Anton hingga kamar itu berantakan. Banyak kenangan indah yang mereka lewati bersama di masa kecil. Calisa takkan melupakannya.
"Calisa, itu siapa?" Anton mengalihkan tatapannya pada Yogi.
"Oh, itu..." Calisa terbata, bingung menjelaskan. Takut menyakiti perasaan sepupu sekaligus cinta pertamanya di masa kecil.
"Calon suaminya Sarah."
Apakah ini hanya ilusi saja? Atau benarkah ada kilat kekecewaan di mata Anton? Kecewakah Anton melihat kenyataan itu? Mata hati Calisa bisa merasakan kekecewaan.
"Sabar ya...suatu saat nanti, kamu akan mendapatkan yang terbaik." ucap Calisa menyabarkan.
"Seperti apa cinta yang terbaik itu?"
Saat mengatakannya, terlintas bayangan kekecewaan yang sama. Anton tak dapat mengingkari perasaannya lagi. Hanya Calisa yang memahami.
Sejurus kemudian Anton menatap Calisa. Tersenyum, lalu menepuk pundak wanita cantik itu.
"Jangan khawatirkan aku...aku sudah ikhlas Sarah bersama Yogi. Bahkan aku selalu mendoakan kebahagiaan mereka."
Mendengar itu, Calisa kian terpana. Benarkah Anton telah mengikhlaskan Sarah bersama Yogi? Tidakkah pria lulusan Universitas Sebelas Maret itu masih menginginkan Sarah sebagai istrinya? Entahlah, dalamnya hati manusia hanya Allah yang tahu.
** Â Â Â Â
Malam selalu panjang
Di waktu aku merindukanmu
Kau bisa menjaga aku
Hingga diriku meraasa teduh
Aku seperti kamu
Menginginkan dan membutuhkanmu
Karena kita tak mampu
Untuk selalu pergi menjauh
Kau jadikan aku ini
Wanita yang kaupilih
Untuk jadi kekasihmu
Dan kau pun telah aku minta
Setia sepertiku
Hingga waktunya tiba
Aku percaya penuh
Kau kan buatku bahagia
Karena cinta tercipta
Datangnya dari dalam hatiku
Kau jadikan aku ini wanita yang kaupilih
Untuk jadi kekasihku
Dan kau pun telah aku minta
Setia sepertiku
Hingga waktunya tiba
Kau jadikan aku ini wanita yang kaupilih untuk jadi kekasihmu
Dan kaupun telah aku pinta
Setia sepertiku
Hingga waktunya tiba (Rossa-Wanita yang Kaupilih).
** Â Â Â
Melawan rasa sakit dan demamnya, Calvin memaksakan diri menyetir mobil. Selesai meeting ia tak langsung pulang. Ada satu tempat yang harus dikunjunginya: rumah masa kecilnya. Di rumah besar bergaya Mediterania itu, tinggal seorang wanita pilihan yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil. Calvin terlahir dari rahim wanita itu. Siapa lagi kalau bukan Nyonya Lola Purnama.
Selangkah demi selangkah, Calvin memasuki rumah masa kecilnya. Melewati selasar yang dipasangi lukisan-lukisan mahal. Melintasi ruang keluarga, perpustakaan, ruang makan, dan studio musik. Menaiki satu per satu anak tangga.
Di depan kamar tidur utama, ia berpapasan dengan dua orang suster. Merekalah yang menjaga Nyonya Lola selama 24 jam. Sejak Tuan Febrian meninggal dua tahun lalu, Nyonya Lola jatuh sakit. Ia terkena kanker tulang belakang. Begitu cepatnya sel kanker bermetastasis hingga akhirnya wanita cantik berdarah keturunan itu lumpuh total. Kini Nyonya Lola hanya bisa berbaring di tempat tidurnya. Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan sesuatu.
Bukan Calvin Wan namanya bila tidak memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintainya. Pewaris tunggal Febrian Corp---perusahaan yang dirintis Tuan Febrian--itu tak segan membayar mahal demi kesehatan Mamanya. Tim dokter, pelayanan suster selama 24 jam, sistem keamanan di rumah yang diperketat, dan terapi pengobatan mutakhir. Berapa pun biayanya, Calvin bertekad membuat Nyonya Lola mampu hidup bersama kanker.
"Suster, bagaimana keadaan Mama hari ini?" tanya Calvin sopan. Meski mereka dibayar dan bekerja untuknya, Calvin tetap sopan pada dua suster itu. Selalu menghargai dan bersikap baik.
"Kondisi Nyonya Lola stabil. Hanya saja, Nyonya rindu Tuan Calvin. Begitu katanya tadi." jelas salah seorang suster.
Calvin tersenyum, berterima kasih, lalu berjalan memasuki kamar. Ia pun rindu wanita pilihan yang telah melahirkan dan membesarkannya, cinta pertamanya di masa kecil.
"Calvin? Oh Sayang...Mama merindukanmu!"
Begitu melihat putra tunggalnya, mata Nyonya Lola berbinar bahagia. Ingin rasanya bangkit dari ranjang dan memeluk Calvin erat-erat. Akan tetapi ia tak berdaya. Kanker menggerogoti sistem sensorik dan motoriknya.
Calvin mendekat ke tepi ranjang. Lembut merengkuh Nyonya Lola. Sehat maupun sakit, Nyonya Lola tetap cantik. Kulit putihnya masih mulus belum dihinggapi keriput. Mata beningnya tetap indah. Tak sehelai pun uban yang menghiasi rambut hitam panjangnya. Kecantikan Nyonya Lola tak memudar ditelan penyakit dan usia.
Kata orang, ibu adalah cinta pertama untuk anak laki-laki. Kebanyakan anak lelaki lebih dekat dengan ibunya. Calvin pun begitu. Sejak kecil, ia sangat dekat dengan Nyonya Lola. Calvin jatuh cinta, sungguh jatuh cinta pada ibunya. Bukan Calisa Karima, tapi Lola Purnama yang menjadi cinta pertama Calvin Wan.
"Calvin Sayang?"
"Ya?"
"Tadi pagi Mama baca tulisan terbarumu. Bagus sekali, Nak. Tulisan tentang asuransi kesehatan bisa memotivasi para pembacanya untuk mempersiapkan risiko yang mungkin terjadi di masa depan."
Hati Calvin trenyuh. Mamanya selalu memperhatikannya, sekali pun ia sedang sakit. Nyonya Lola memantau Calvin dari jauh, lewat artikel-artikelnya. Tubuhnya memang lumpuh. Namun ia masih bisa mengakses web media citizen journalism itu dengan tab.
Mulailah Calvin merawat cinta pertamanya. Ia telaten dan sabar merawat Nyonya Lola. Tak kalah piawainya dengan dua suster di luar pintu kamar ini. Calvin memandikan Nyonya Lola. Memakaikannya baju, memotong kukunya, menyisir rambut Nyonya Lola, menyuapi, membantu minum obat, dan membersihkan seprai, selimut, serta tempat tidur. Ada saja rintangan kecil yang dihadapi, namun Calvin tetap lembut dan sabar.
"Muntah lagi? Sebentar, Ma. Efek kemo kemarin ya?" Calvin berujar lembut. Membersihkan sisa muntahan Nyonya Lola.
Jijik? Sama sekali tidak. Calvin tak pernah keberatan melakukannya. Ini sudah menjadi tugasnya. Menjadi anak yang baik dan ikhlas berbakti pada orang tua. Merawat cinta pertamanya. Sama seperti Nyonya Lola yang merawatnya saat ia sakit.
"Oh, ternyata baju Mama kotor juga. Calvin ganti ya?"
Hati-hati Calvin melepas pakaian Nyonya Lola. Dibukanya lemari besar di sudut kamar, mulai mencari pakaian bersih yang nyaman dipakai. Beberapa kali Nyonya Lola menolak baju-baju yang dipilihkan Calvin. Tak ingin mengenakan pakaian berwarna cerah. Nyonya Lola lebih suka berpakaian hitam. Calvin menuruti kemauan sang Mama. Orang sakit terkadang lebih sensitif. Butuh kesabaran ekstra untuk merawat orang sakit. Calvin mampu merawat Nyonya Lola dengan penuh kelembutan dan kesabaran.
Letih tak lagi ia rasakan. Tubuhnya sendiri yang tak bisa dikatakan sehat pun sama sekali bukan alasan untuk berhenti merawat Nyonya Lola. Dua tahun Nyonya Lola lumpuh total, Calvin tidak pernah lelah merawatnya. Tidak mengeluh sedikit pun.
"Calvin, maafkan Mama." Di luar dugaan, Nyonya Lola menangis. Air mata membasahi pakaiannya yang baru diganti.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ma." kata Calvin menenangkan. Untuk kedua kalinya memeluk Nyonya Lola.
"Mama sudah tidak berguna. Mama hanya bisa menyusahkanmu..." Nyonya Lola terisak.
"Mama tidak pernah menyusahkan Calvin. Yang terpenting, Mama harus fokus pada kesehatan Mama sendiri. Calvin yakin, Mama pasti sembuh."
"Oh Sayang, Mama tidak yakin akan sembuh. Penyakit Mama sudah terlalu parah."
Nada putus asa tertangkap dalam suara Nyonya Lola. Calvin memeluknya, terus memeluknya.
"Sehat atau sakit, Mama tetaplah cinta pertama Calvin. Mama menempati ruang istimewa di hati ini. Calvin mencintai Mama, bagaimana pun kondisinya."
Perkataan Calvin teramat tulus. Nyonya Lola terharu dan bahagia. Calvin mengusap air mata Nyonya Lola dengan ibu jarinya.
"Mama juga mencintaimu, Sayang. Sangat mencintaimu..."
Berjam-jam lamanya Calvin menunggui Nyonya Lola. Menjelang waktu tidur, Calvin masih di sana. Seluruh waktunya tercurah hanya untuk cinta pertamanya.
Calvin tetap di sana sampai Nyonya Lola tertidur. Dikecupnya kening Mamanya. Betapa ia menyayangi Nyonya Lola.
"Good night, Ma. Love you."
Setelah mencium kening sang Mama, Calvin menyelimuti Nyonya Lola. Ia lakukan semua itu dengan penuh cinta. Kesabaran luar biasa membuat Calvin tetap kuat merawat Nyonya Lola. Dirinya, Calvin Wan, mencintai Nyonya Lola tanpa syarat. Lumpuh total tak menjadikan Nyonya Lola kehilangan kasih sayang buah hatinya. Karena Calvin, Nyonya Lola bertekad terus bertahan hidup melawan penyakitnya. Cinta menjadi alasan terbesar untuk bertahan hidup.
** Â Â Â Â
Paris Van Java, 27 Oktober 2017
Cinta pertama di masa kecil selalu dikenang. Siapakah cinta pertama di masa kecil kalian?
https://www.youtube.com/watch?v=H-VrSl2Ha6Y
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H