Nampak terguncang, Calisa hampir menangis. Calvin memeluknya. Membelai-belai lembut rambut panjang wanitanya. Mengusap lelehan bening yang terjun bebas dari kelopak matanya.
"Tidak apa-apa Calisa, tidak apa-apa. Kamu hanya butuh waktu..." bisik Calvin, mempererat dekapannya.
"Maafkan aku, Calvin. Maaf..." Calisa memohon. Air mata membasahi pipi putihnya.
"Aku yang harus minta maaf, Love. Gegara aku, putri kita meninggal. Ini semua salahku."
Calvin memapah Calisa ke lantai bawah. Mendudukkan wanita cantik itu di sofa, menggenggam erat kedua tangannya. Calisa kian merasa bersalah. Ia menyesali dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia melakukan kesalahan sefatal itu.
"Calisa, are you ok?" Calvin bertanya lembut. Kecemasan tercermin di matanya.
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Kamu baik-baik saja, kan? Kamu demam lagi, Calvin. Ada yang sakit?"
"Tidak, Calisa. Aku baik-baik saja."
Ada percikan ketenangan menetesi hati Calisa. Ia hanya berharap Calvin baik-baik saja.
"Calisa, maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Ada meeting, dan aku harus ke rumah Mama. Is it ok?"
Calisa mengangguk. Tak masalah. Toh sepanjang hari kemarin Calvin telah menemaninya.