Puas berkutat dengan bunga yang mereka tanam, Calvin dan Calisa bersiap memulai aktivitas. Calisa menyiapkan sarapan, sementara Calvin memastikan bahan-bahan presentasi untuk meeting siang nanti sudah lengkap. Pagi ini Calisa membuat pancake strawberry sebagai menu sarapan. Salah satu makanan favorit Fransisca. Sambil mengaduk adonan, wanita berdarah Sunda-Melayu-Belanda itu terkenang Fransisca. Sering kali putrinya itu membantunya membuat pancake sewaktu ia masih hidup. Tak jarang berbuat sedikit nakal dengan mencolek hidung Calisa dengan tepung. Calisa akan tertawa, balas mencoreng muka menggemaskan putrinya dengan adonan yang separo selesai. Kenangan manis yang takkan terulang lagi.
"Fransisca...pancakenya sudah siap, Sayang." Tanpa sadar Calisa memanggil nama Fransisca tepat ketika pancake buatannya selesai dipanggang.
Sejurus kemudian Calisa mengangkat pancake strawberry buatannya dari dalam oven, melakukan plating dengan cantik, dan membawanya ke lantai atas. Berjalan menyusuri koridor, sampai akhirnya tiba di depan pintu kamar Fransisca.
"Calisa, what are you doing?"
Suara bass milik Calvin memanggilnya. Refleks Calisa membalikkan tubuh. Melihat pria pendamping hidupnya itu telah berpakaian lengkap dengan membawa laptop dan tab.
"Aku mau antarkan ini buat Fransisca." sahut Calisa disertai wajah innocentnya.
Calvin terhenyak. Menatap istrinya lekat. Hatinya sedih bercampur iba. Empati yang dalam merasuki jiwanya. Rupanya Calisa masih belum rela Fransisca meninggal. Sebenarnya, siapakah yang lebih hancur? Calvin atau Calisa?
"Calisa," kata Calvin lembut, sangat lembut.
"Fransisca sudah tidak ada."
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Wajah Calisa memucat. Sinar matanya meredup. Lalu ia berucap.
"Astaghfirulah...astaghfirulah. Calvin, I'm so sorry. Oh no...apa yang telah kulakukan?"