"Good morning, My Lovely Calisa."
"Morning. Ayo bangun, Calvin Sayang. Kita shalat Subuh."
Keduanya beranjak meninggalkan kamar. Shalat Subuh di mushala mungil yang terletak di antara perpustakaan dan studio musik. Calvin menjalankan perannya sebagai Imam sebaik mungkin. Bukan hanya Imam dalam shalat, melainkan pula Imam dalam keluarga. Beruntung sekali Calisa memiliki suami setampan dan sesaleh Calvin Wan.
Usai shalat, mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar kompleks perumahan. Sekadar melewatkan sisa waktu sebelum memulai rutinitas. Tak lama, Calisa sudah meminta Calvin kembali ke rumah. Ia teringat pada bibit bunga lily yang ditanamnya.
"Sabar, Calisa Sayang. Kamu pasti ingin cepat-cepat berhasil ya?" ujar Calvin, tersenyum menawan. Memahami jalan pikiran istri cantiknya.
"Tidak juga. Aku hanya ingin melihat sudah sejauh mana bibit yang kutanam itu tumbuh," balas Calisa jujur.
"Sama saja. But it's ok. Wajar kamu penasaran." Calvin tertawa kecil, lalu menggandeng tangan Calisa kembali ke rumah.
Taman kecil di belakang rumah mereka datangi. Calisa tak sabar ingin melihat benih bunga lily yang ditanamnya. Calvin tak puas-puas memperhatikan raut wajah Calisa. Tersenyum simpul melihat tingkahnya. Jangan kira Calisa saja yang suka menanam bunga. Ternyata, Calvin pun suka melakukannya. Bedanya, Calvin menanam bunga matahari, bukannya bunga lily.
"Hargai proses, Calisa." Calvin mengingatkan dengan lembut.
"Iya, aku tahu. Hanya ingin melihat progresnya dari waktu ke waktu."
Sekilas Calisa melirik pot berisi bunga matahari yang telah berhasil ditanam suaminya. Jauh sebelum Calisa mulai menanam bunga lily, Calvin lebih dulu menanam bunga matahari mulai dari bibitnya. Pekerjaan yang menyenangkan. Mengajarkan kesabaran, penantian, dan arti menghargai proses. Selain itu, menanam bunga melatih kepekaan rasa. Melembutkan hati dan menghaluskan perasaan.