Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Energi Hati

20 Oktober 2017   05:56 Diperbarui: 20 Oktober 2017   06:11 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itulah Calvin dan Calisa berpisah. Kini mereka telah kembali bersama. Tuhan yang menghendaki, Tuhan yang menentukan.

Rujuknya Calvin-Calisa ternyata menuai pro dan kontra. Banyak teman mereka yang mengucapkan selamat. Tulus mendoakan mereka. Di antara doa-doa yang mengalir tulus untuk mereka, ada pula yang melemparkan kritikan tajam. Mengatakan bahwa Calvin sudah tak pantas lagi untuk Calisa.

"Mau-maunya ya, kamu rujuk lagi sama Calvin. Calisa, kamu masih cantik. Masih layak mendapatkan yang lebih baik. Empat belas tahun lalu, Calvin sudah menceraikanmu. Sekarang, enak saja dia menginginkanmu kembali."

"Hmm...iya sih, Calvin masih ganteng kayak dulu. Sekarang malah makin kaya dan sukses. Tapi...katanya dia...ehm mandul ya? Udah nggak bisa punya keturunan lagi? Memangnya kamu mau, Calisa?"

"Calvin yang menyebabkan kematian anakmu. Yakin masih terima dia balik lagi?"

Begitulah komentar-komentar negatif yang dilayangkan teman-temannya. Calisa tak peduli. Ini keputusannya, keputusan terbaiknya yang pernah ia ambil setelah empat belas tahun berpisah.

Komentar negatif itu ia tanggapi dengan senyuman manis. Anggun dan tak peduli. Calisa stay cool saja. Begitu pun Calvin. Ini hidup mereka, ini pilihan mereka. Orang lain tak berhak mencampuri urusan mereka.

Mereka tak lagi tinggal di rumah berlantai dua dengan nuansa broken white itu. Sebagai gantinya, sebuah villa mewah di daerah Lembang telah disiapkan Calvin. Di villa itulah Calvin dan Calisa memulai lembaran baru dalam kehidupan mereka.

"Kamu tak apa-apa tinggal di sini, kan?" tanya Calvin di hari pertama kembalinya mereka sebagai pasangan suami-istri.

"Tak apa-apa. Villa ini sangat bagus. Fasilitasnya lengkap, halamannya luas. Ada air mancur dan kebun kecil berisi bunga lily. Apa yang kurang?" balas Calisa, tersenyum penuh arti.

"Maksudku, sekarang kita tidak tinggal lagi di rumah kenangan itu. Rumah tempat kita membesarkan Fransisca." Calvin menjelaskan dengan sabar.

"Oh, sama sekali tidak masalah. Rumah itu jauh lebih bermanfaat untuk anak-anak asuhmu. Mereka butuh tempat tinggal, butuh kenyamanan selama bolak-balik menjalani terapi pengobatan kanker."

Mendengar kata-kata bijak istrinya, Calvin menatap lembut wajah Calisa. Ternyata Calisa tak berubah. Tetap cantik, baik cantik di luar maupun cantik di dalam. Ketulusan dan kelembutannya tak berkurang sedikit pun.

"Aku beruntung memilikimu kembali, Calisa." ujar Calvin lembut. Membelai rambut panjang Calisa.

"Akulah yang lebih beruntung. Ternyata suamiku ini luar biasa."

Calvin meraih tangan Calisa. Mengajaknya berkeliling villa baru mereka. Melihat-lihat kamar demi kamar. Melewati ruang tamu, ruang tengah, perpustakaan kecil, studio musik, dan balkon. Mengecek kelengkapan furniture. Memastikan lukisan dan foto-foto terpasang rapi di dinding.

Akhirnya mereka berhenti di sebuah kamar tidur bernuansa soft pink. Interior dan penataannya mirip sekali dengan kamar Fransisca di rumah lama. Calvin dan Calisa duduk di tempat tidur. Mengamati susunan perabot, koleksi boneka, dan tumpukan buku di sekeliling kamar. Semuanya persis sama.

"Calvin Sayang, siapa yang mendekor kamar ini? Persis sama dengan kamar Fransisca," desah Calisa tak percaya.

"Aku," jawab Calvin.

"Agar ingatan tentang Fransisca selalu melekat dimana pun kita tinggal."

Kedua mata Calisa membulat kagum. Menatapi dekorasi kamar itu. Melempar pandang rindu pada foto-foto Fransisca.

"Terima kasih ya. Kamu mau mengabadikan kenangan putri kita. So, meski kita telah pindah, kita masih bisa mengenang Fransisca di sini."

Seulas senyum merekah di bibir Calisa. Sedetik kemudian Calvin merangkulnya hangat. Menciumi kening, pipi, kelopak mata, dan puncak kepala wanita berdarah Indo itu. Wangi Calvin Klein dan Escada The Moon Sparkel menyatu dari tubuh mereka berdua.

**     

Tatap mataku

Rasa hatiku

Dengar pintaku tuk memilikimu

Walau dunia harus berubah

Namun cintaku tetap kan sama

Takkan ada yang bisa menggantikan dirimu

Telah kurelakan hidup untukmu

Ku mencintaimu

Selamanya tetap begitu

Apa pun terjadi

Dirimu diriku menyatu

Padamu hatiku berlabuh

Oh cintaku sejati

Ini janjiku

Janji setiaku

Sisa hidupku hanya untukmu

Takkan ada yang bisa menggantikan dirimu

Telah kurelakan hidup untukmu

Ku mencintaimu

Selamanya tetap begitu

Apa pun terjadi

Dirimu diriku menyatu

Padamu hatiku berlabuh

Oh cintaku sejati

Ku mencintaimu

Selamanya tetap begitu

Apa pun terjadi

Dirimu diriku menyatu

Padamu hatiku berlabuh

Oh cintaku sejati

Ku mencintai dirimu selamanya takkan ada yang bisa memisahkan

Dirimu diriku menyatu

Padamu hatiku berlabuh

Oh cintaku sejati (Rayen ft Gisel-Hidup Untukmu).

**       

Ritual yang berulang sejak empat belas tahun lalu. Peringatan ulang tahun kematian Fransisca. Baik Calisa maupun Calvin tak pernah absen membuat acara peringatan ulang tahun kematian itu tiap tahunnya.

Ironisnya, hari kematian Fransisca bertepatan dengan ulang tahun Calvin sekaligus ulang tahun pernikahan mereka. Tak terbayangkan, tiga peristiwa besar terjadi di tanggal yang sama. Calvin dan Calisa bersusah payah menata hati mereka.

Tahun ini berbeda. Acara peringatan ulang tahun kematian Fransisca diundur selama beberapa minggu. Pasalnya, Calvin dan Calisa disibukkan dengan proses rujuk dan kepindahan mereka ke villa. Kini semuanya telah selesai. Saatnya menunaikan agenda rutin yang tertunda.

Villa mewah itu dipenuhi para tamu. Mereka tak ragu membayar mahal untuk mendatangkan ustadz yang sudah punya nama untuk memimpin jalannya acara itu. Lebih tepatnya, untuk membimbing mereka semua mendoakan Fransisca. Bila ada kepentingannya dengan Fransisca, Calvin dan Calisa selalu melakukan yang terbaik.

Tak hanya keluarga besar yang diundang. Teman-teman, sahabat, anak-anak di Rumah Cinta, dan rekan kerja pun berdatangan karena undangan yang sama. Dalam sekejap, acara peringatan ulang tahun kematian itu layaknya parade pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik. Halaman dan ruang tamu villa tak ubahnya area catwalk. Penuh berisi wanita cantik dan pria tampan dengan penampilan stylish serta elegan. Tas mahal, sepatu branded, pakaian bagus, dan parfum yang wangi menjadi ciri khas mereka.

Manik mata Calisa menangkap kedatangan teman-teman prianya sekaligus mantan koleganya. Dulu, mereka sering melakukan pendekatan padanya. Berniat merebut hatinya setelah ia bercerai dengan Calvin. Namun Calisa lebih memilih menutup hati. Cinta dan hatinya hanya ia berikan untuk pria oriental itu. Sebab ia yakin, suatu saat nanti Calvin akan kembali. Benar saja, penantian Calisa tak sia-sia.

Apa yang ditakutkannya terjadi. Para pria metropolis itu mendekatinya. Awalnya sekadar berbasa-basi menanyakan kabar, lalu berujung pada pertanyaan klise. Alasannya rujuk dengan Calvin. Calisa menanggapi semua pertanyaan dengan tenang. Mereka mempertanyakan mengapa Calvin yang sudah tidak sesehat dulu itu masih diterima Calisa dengan hati terbuka.

"Kuterima Calvin atas nama cinta," Calisa menjawab, singkat dan diplomatis.

"So, aku permisi dulu. Calvin sudah menungguku."

Pria-pria sukses nan kaya itu dibuat terkesima dengan pembawaan Calisa. Sementara Calisa berjalan anggun melewati mereka. Dress putih yang ia kenakan menyempurnakan penampilannya sore ini.

Dengan anggun dan penuh percaya diri, ia menghampiri Calvin. Celakanya, saat itu Calvin menghadapi situasi yang sama dengan dirinya: dikelilingi wanita-wanita cantik yang pernah mencoba merebut hatinya.

"Syifa? Dinda...Fatima...Naftalia...Marla, Bianca...Ariyani?" desis Calisa, mata birunya melebar tak percaya. Ia hafal nama semua wanita itu.

Perlahan Calisa melangkah mundur. Memperhatikan Calvin dari jauh. Ia ingin tahu reaksi Calvin menghadapi wanita-wanita itu.

Calvin Wan yang tampan tetaplah sempurna dan memikat di mata banyak wanita. Blogger tampan yang populer karena konsistensinya one day one article, trader, sekaligus ayah angkat bagi puluhan anak penderita kanker. Sukses secara materi, nama tenar, wajah rupawan meski di pertengahan usia 44 menuju 45, penyabar, setia, konsisten, dan layak mendapat predikat hot daddy. Apa lagi yang kurang? Pantas saja wanita-wanita itu masih menaruh hati padanya meskipun Calvin telah rujuk dengan Calisa.

"Calvin, kenapa harus Calisa lagi?" tanya Fatima dengan suara altonya yang halus itu.

Pria lain mungkin takkan sesabar Calvin. Ia tetap tersenyum di tengah segala komplain dan rayuan.

"Karena aku hanya mencintai Calisa," ucap Calvin tenang.

Syifa tersenyum manis. Mengerling Calvin dengan sorot mata menggoda. Di antara sekumpulan wanita cantik dan berpendidikan itu, Syifalah yang paling suka tebar pesona.

"Are you sure?" tanya Syifa lembut.

"Lebih cantik mana? Aku atau Calisa?"

Sebuah pertanyaan sulit. Syifa memang cantik, menarik, dan punya seribu cara untuk memikat hati pria yang disukainya. Namun bukan daya tarik seperti itu yang dicari Calvin.

"Syifa, you're beautiful." puji Calvin tulus. Ditingkahi tatapan kaget Dinda, Fatima, Marla, Naftalia, dan Ariyani. Disambuti senyuman Syifa.

"Tapi bukan kamu yang kucari. Kecantikanmu lebih pantas untuk pria lain saja. Masih banyak pria charming di luar sana yang menantimu."

Calvin mengatakannya dengan lembut dan penuh empati. Ekspresi wajah Syifa mulus tak terbaca. Belum sempat ia menanggapi, Bianca langsung mencuri kesempatan.

"Sebenarnya, apa motifmu kembali pada Calisa?"

"Bianca, haruskah kukatakan berulang kali? Tidak perlu alasan untuk mencintai dan mengharapkan dia kembali. Begitu ada kesempatan, aku tak akan ragu mengambilnya."

Rupanya Calvin masih sabar melayani pertanyaan dan argumen wanita-wanita jelita itu. Walau hatinya mulai dirayapi keresahan. Ulang tahun kematian putrinya tak pantas dirusak oleh kehadiran beberapa orang yang ingin mengacaukan hidupnya.

"Calvin, sorry ya. Kami tidak bermaksud merusak acara ulang tahun kematian putrimu. Tapi...keputusanmu untuk rujuk dengan Calisa setelah empat belas tahun berpisah benar-benar sensasional. Jujur kami kecewa. Mengapa kamu tidak memilih salah satu dari kami?" Seakan bisa membaca pikirannya, Ariyani meyakinkan Calvin bila mereka takkan merusak acara peringatan ulang tahun kematian Fransisca.

"I see. Terima kasih atensinya. Kurasa, sudah jelas semuanya. Aku dan Calisa saling mencintai. So, kami putuskan untuk rujuk kembali." kata Calvin sabar.

Dinda mengangkat satu alisnya. Entah ini hanya perasaan Calvin atau bukan, sekilas tertangkap sorot kekecewaan di mata Dinda. Seolah ia masih tak terima bersatunya kembali Calvin dan Calisa.

"Calvin, ingat siapa aku? Aku, Dinda Pertiwi, sahabat masa kecilmu. Akulah yang lebih dulu datang ke dalam kehidupanmu dan menyayangimu." Dinda berucap perlahan.

"Kamu memang yang pertama, tapi Calisa yang terakhir. Yang pertama belum tentu menjadi yang terakhir. Sebaliknya, yang terakhir selalu dan selamanya dicintai." Calvin menanggapi, sabar dan penuh wibawa.

"Wait...memangnya Calisa mau menerimamu lagi?" sela Marla dingin.

"Apa maksudmu?"

"Calisa tahu kondisimu, kan? Kalian tidak akan punya keturunan...lebih tepatnya, kamu yang tidak bisa memberi keturunan lagi."

"Jika aku ada di posisi Calisa, aku takkan keberatan. Menerima adalah bagian dari mencintai," Tanpa diduga, Naftalia berkata bijak. Menatap Calvin lembut. Naftalia seorang psikolog. Wajar jika dirinya mudah memahami keadaan orang lain.

"Thanks Naftalia. Penerimaan dan cinta Calisa sudah cukup. Aku tak menginginkan cinta yang lain."

Di posisinya, Calisa terhenyak. Begitulah cara Calvin merespon wanita-wanita cantik itu. Calvin tetap memilihnya. Menutup celah bagi mereka untuk masuk lagi dalam kehidupannya. Pintu hatinya hanya terbuka untuk Calisa. Tanpa terasa, dua titik bening jatuh di pelupuk mata.

Selesai acara, Calisa mengajak Calvin bicara. Bergegas ke halaman belakang villa, keduanya mulai saling membuka diri. Calvin dan Calisa bertautan tangan. Saling tatap penuh arti.

"Tadi Marla menyinggung soal infertilitas sekunder secara tersirat," Calisa angkat bicara, sehati-hati mungkin demi menjaga perasaan suaminya.

"Iya, Calisa. Kamu selalu tahu apa yang terjadi."

"Sudah siapkah kamu dengan kemungkinan terburuk? Bila hingga nanti di akhir hidupmu, kamu tidak punya keturunan...?" Calisa tak sanggup melanjutkan. Terlalu sedih untuk dikatakan, terlalu sakit untuk diungkapkan.

"Tidak masalah," Calvin berujar lembut. Mengeratkan genggaman tangannya.

"Prinsipku, prepare for the worst and enjoy the result."

Calisa menghela napas. Ditatapnya mata suaminya lekat. Ia salut dan bangga pada Calvin.

"Love, sudah ikhlaskah kamu? Bukannya aku bermaksud mendoakan hal buruk, tapi..."

"Calisa, aku ikhlas."

Cukup satu kalimat. Ya, satu kalimat saja. Calvin benar-benar sudah ikhlas. Keikhlasan, mudah diucapkan. Sulit dilakukan. Namun Calvin terbukti bisa mengikhlaskan. Menghadapi takdirnya dengan hati yang tulus ikhlas menerima semua ketetapan Illahi.

"Oh Calvin...kamu sangat ikhlas. Suamiku ini ternyata berjiwa besar. Aku bersyukur memilikimu. Apa yang membuatmu kuat, Sayang?" Calisa tulus memuji.

"Kenyataan yang menguatkanku, Calisa."

Realita yang menyedihkan, namun menguatkan. Calvin kuat dan tegar karena kenyataan itu sendiri.

Tanpa kata, Calisa memeluk Calvin. Keduanya berpelukan, erat dan lama. Hangat mengaliri tubuh mereka. Bolehkah waktu dihentikan saja, agar mereka bisa berpelukan seerat ini?

"Calvin?"

"Ya, Sayang?"

"Kenapa kamu memilihku? Aku banyak kekurangannya. Seharusnya, kamu pilih saja wanita-wanita lain yang lebih cantik dan lebih baik dariku. Ada Syifa, Dinda, Bianca, Marla, Fatima, Naftalia, dan Ariyani. Pilih mereka saja..."

Ada nada pesimistis dalam suara Calisa. Refleks Calvin mempererat pelukannya.

"Calisa, sampai sekarang aku tak tahu pasti apa alasannya. Yang jelas, aku merasa cocok denganmu. Terlebih kamulah yang pertama mengulurkan tangan untuk mengenalku." ungkap Calvin, jujur dan apa adanya.

"Aku jadi ingat penasihat spiritualku. Kecocokan itu muncul karena adanya energi hati."

"Energi hati? Mungkin saja begitu. Satu hal yang pasti: hatiku sendiri yang memilihmu. Tidak ada paksaan dan campur tangan pihak lain saat kuputuskan untuk memilihmu."

Ini masalah hati. Hati merekalah yang memilih untuk menyatu dan mencinta. Kata hati tak pernah berdusta. Berjuta pilihan di sisi mereka, namun hati selalu mampu memberi pilihan terbaik.

**       

https://www.youtube.com/watch?v=KBE2D0OkaLM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun