"Oh, sama sekali tidak masalah. Rumah itu jauh lebih bermanfaat untuk anak-anak asuhmu. Mereka butuh tempat tinggal, butuh kenyamanan selama bolak-balik menjalani terapi pengobatan kanker."
Mendengar kata-kata bijak istrinya, Calvin menatap lembut wajah Calisa. Ternyata Calisa tak berubah. Tetap cantik, baik cantik di luar maupun cantik di dalam. Ketulusan dan kelembutannya tak berkurang sedikit pun.
"Aku beruntung memilikimu kembali, Calisa." ujar Calvin lembut. Membelai rambut panjang Calisa.
"Akulah yang lebih beruntung. Ternyata suamiku ini luar biasa."
Calvin meraih tangan Calisa. Mengajaknya berkeliling villa baru mereka. Melihat-lihat kamar demi kamar. Melewati ruang tamu, ruang tengah, perpustakaan kecil, studio musik, dan balkon. Mengecek kelengkapan furniture. Memastikan lukisan dan foto-foto terpasang rapi di dinding.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah kamar tidur bernuansa soft pink. Interior dan penataannya mirip sekali dengan kamar Fransisca di rumah lama. Calvin dan Calisa duduk di tempat tidur. Mengamati susunan perabot, koleksi boneka, dan tumpukan buku di sekeliling kamar. Semuanya persis sama.
"Calvin Sayang, siapa yang mendekor kamar ini? Persis sama dengan kamar Fransisca," desah Calisa tak percaya.
"Aku," jawab Calvin.
"Agar ingatan tentang Fransisca selalu melekat dimana pun kita tinggal."
Kedua mata Calisa membulat kagum. Menatapi dekorasi kamar itu. Melempar pandang rindu pada foto-foto Fransisca.
"Terima kasih ya. Kamu mau mengabadikan kenangan putri kita. So, meski kita telah pindah, kita masih bisa mengenang Fransisca di sini."