"Iya, Calisa. Kamu selalu tahu apa yang terjadi."
"Sudah siapkah kamu dengan kemungkinan terburuk? Bila hingga nanti di akhir hidupmu, kamu tidak punya keturunan...?" Calisa tak sanggup melanjutkan. Terlalu sedih untuk dikatakan, terlalu sakit untuk diungkapkan.
"Tidak masalah," Calvin berujar lembut. Mengeratkan genggaman tangannya.
"Prinsipku, prepare for the worst and enjoy the result."
Calisa menghela napas. Ditatapnya mata suaminya lekat. Ia salut dan bangga pada Calvin.
"Love, sudah ikhlaskah kamu? Bukannya aku bermaksud mendoakan hal buruk, tapi..."
"Calisa, aku ikhlas."
Cukup satu kalimat. Ya, satu kalimat saja. Calvin benar-benar sudah ikhlas. Keikhlasan, mudah diucapkan. Sulit dilakukan. Namun Calvin terbukti bisa mengikhlaskan. Menghadapi takdirnya dengan hati yang tulus ikhlas menerima semua ketetapan Illahi.
"Oh Calvin...kamu sangat ikhlas. Suamiku ini ternyata berjiwa besar. Aku bersyukur memilikimu. Apa yang membuatmu kuat, Sayang?" Calisa tulus memuji.
"Kenyataan yang menguatkanku, Calisa."
Realita yang menyedihkan, namun menguatkan. Calvin kuat dan tegar karena kenyataan itu sendiri.