Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itulah Calvin dan Calisa berpisah. Kini mereka telah kembali bersama. Tuhan yang menghendaki, Tuhan yang menentukan.
Rujuknya Calvin-Calisa ternyata menuai pro dan kontra. Banyak teman mereka yang mengucapkan selamat. Tulus mendoakan mereka. Di antara doa-doa yang mengalir tulus untuk mereka, ada pula yang melemparkan kritikan tajam. Mengatakan bahwa Calvin sudah tak pantas lagi untuk Calisa.
"Mau-maunya ya, kamu rujuk lagi sama Calvin. Calisa, kamu masih cantik. Masih layak mendapatkan yang lebih baik. Empat belas tahun lalu, Calvin sudah menceraikanmu. Sekarang, enak saja dia menginginkanmu kembali."
"Hmm...iya sih, Calvin masih ganteng kayak dulu. Sekarang malah makin kaya dan sukses. Tapi...katanya dia...ehm mandul ya? Udah nggak bisa punya keturunan lagi? Memangnya kamu mau, Calisa?"
"Calvin yang menyebabkan kematian anakmu. Yakin masih terima dia balik lagi?"
Begitulah komentar-komentar negatif yang dilayangkan teman-temannya. Calisa tak peduli. Ini keputusannya, keputusan terbaiknya yang pernah ia ambil setelah empat belas tahun berpisah.
Komentar negatif itu ia tanggapi dengan senyuman manis. Anggun dan tak peduli. Calisa stay cool saja. Begitu pun Calvin. Ini hidup mereka, ini pilihan mereka. Orang lain tak berhak mencampuri urusan mereka.
Mereka tak lagi tinggal di rumah berlantai dua dengan nuansa broken white itu. Sebagai gantinya, sebuah villa mewah di daerah Lembang telah disiapkan Calvin. Di villa itulah Calvin dan Calisa memulai lembaran baru dalam kehidupan mereka.
"Kamu tak apa-apa tinggal di sini, kan?" tanya Calvin di hari pertama kembalinya mereka sebagai pasangan suami-istri.
"Tak apa-apa. Villa ini sangat bagus. Fasilitasnya lengkap, halamannya luas. Ada air mancur dan kebun kecil berisi bunga lily. Apa yang kurang?" balas Calisa, tersenyum penuh arti.
"Maksudku, sekarang kita tidak tinggal lagi di rumah kenangan itu. Rumah tempat kita membesarkan Fransisca." Calvin menjelaskan dengan sabar.