Hijab, sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi wanita Muslimah. Ada pula yang menyebutnya kerudung, jilbab, pakaian tertutup, atau apa pun itu. Namun saya lebih nyaman menyebut kata hijab. Terdengar lebih indah dan enak diucapkan.
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut merupakan ayat ke-59 dari Surah Al Ahzab. Sering kali ayat ini digunakan sebagai dalil untuk mewajibkan wanita Muslimah berhijab.
Nah, kita lihat dulu asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat) tersebut. Ibnu Sa'ad dalam kitabnya, at-Thabaqaat meriwayatkan, saat itu istri-istri Rasulullah sering diganggu orang fasik saat mereka keluar rumah. Mereka melaporkan kejadian itu pada Rasulullah. Nabi menegur orang-orang fasik itu. Kata mereka, hanya wanita budak yang mereka ganggu. Lalu turunlah ayat itu. Perintah untuk menggunakan hijab. Sejak memakai hijab, istri-istri Rasulullah dan wanita mukmin tak lagi diganggu. Hijab menjadi identitas dan pemberi rasa aman bagi wanita Mukmin yang merdeka.
Yang merdeka? Bagaimana dengan wanita Muslimah yang masih menjadi budak? Di masa kekhalifannya, Umar melarang budak memakai hijab. Hijab hanya untuk wanita Muslimah yang merdeka. Praktis, budak yang beragama Islam sekali pun tidak boleh memakai hijab. Aurat mereka sama dengan aurat pria: dari pusar sampai bawah lutut.
Masalah hijab masih menjadi pertentangan para ulama. Jangankan hijab, aurat pun antara pendapat ulama satu dengan yang lainnya tak sama.
Itulah ulasan hijab dari sisi teologisnya. Singkat saja. Sekarang kita fokus membahas hijab dari sisi psikologis wanita Muslimah.
Saya ingin sedikit bercerita dan mengakui satu hal. Terserah apa pun penilaian pembaca pada saya setelah ini. Beberapa tahun lalu, saya pernah berhijab. Tapi hanya bertahan kurang lebih setahun. Setelah itu, saya memutuskan lepas hijab.
Pengakuan ini baru berani saya ungkapkan setelah beberapa tahun berlalu. Saya tak peduli apakah setelah ini saya akan di-judge negatif, dianggap wanita tidak benar, tidak punya prinsip, wanita penggoda, atau semacamnya. Stay cool, itulah yang akan saya lakukan. Namun bagi orang-orang dekat dan memahami saya, mudah-mudahan kalian mengerti dan percaya: saya melepas hijab dengan alasan yang kuat. Terserah kalian akan berhenti menyayangi saya, atau berhenti mempercayai saya setelah membaca tulisan ini.
Berhijab itu tidak mudah. Ratusan kali saya memikirkannya sebelum memutuskan untuk berhijab. Pertama kali terbersit niat untuk berhijab adalah ketika melihat beberapa teman saya mengenakannya. Cantik dan anggun sekali. Aura mereka terpancar begitu kuatnya. Hati saya tergerak untuk mengenakan hijab pula.
Akhirnya, saya pun berhijab. Teman-teman merasa senang dan memberi selamat. Salah seorang kakak kelas bahkan meminta saya untuk tidak lepas hijab lagi. Tiga tahun berlalu, dan saya masih ingat ucapannya itu. Saya masih sering sedih dan bersalah tiap kali mengingatnya.