Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Pertama Belum Tentu Bertanggung Jawab

13 Februari 2017   06:17 Diperbarui: 13 Februari 2017   17:37 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: theodysseyonline.com

Kejadian ini dialami Mama saya. Selama 19 tahun menjadi anaknya saya tahu Mama adalah figur ibu, saudara, anak, teman, sahabat, dan istri yang baik. Di keluarga besar, Mama selalu menjadi kebanggaan. Banyak sepupu saya yang ingin bertukar posisi dengan saya: menjadi anak Mama. Sebab mereka tahu, Mama saya royal dan penyayang. Tak pernah keberatan memanjakan anak. Memberikan 24 jam waktunya untuk anaknya. Rajin membuatkan dress-dress cantik untuk anak dengan tangannya sendiri. Murah hati dan senang berbagi.

Ketika Eyang Putri meninggal November lalu, Mama yang paling sibuk mengurus segalanya. Mulai dari memandikan jenazah hingga membiayai acara peringatan hari pertama hingga hari ketujuh. Energi, waktu, pikiran, dan banyak biaya beliau keluarkan demi memberi yang terbaik untuk Almarhumah Eyang Putri. Keluarga besar mengakui semua itu.

Akhir minggu kemarin adalah peringatan 100 hari meninggalnya Eyang Putri. Lagi-lagi Mama turun tangan. Menyiapkan acara peringatan 100 hari tanpa bantuan kakak dan adik-adiknya. Justru adiknya yang kedua terang-terangan menyatakan batal membuat acara peringatan 100 hari di rumahnya. Semuanya diserahkan pada Mama. Alhasil, acara tersebut diadakan di rumah kami tanpa dihadiri atau diikuti anggota keluarga yang lain. Mama justru mengundang orang-orang lain dan ustadz dari luar keluarga untuk mendoakan Eyang Putri.

Sikap pembiaran dari keluarga besar yang lain membuat saya kecewa dan bertanya-tanya. Tidakkah mereka mempunyai inisiatif sebesar inisiatif yang dimiliki Mama? Tidakkah mereka ingin memberi yang terbaik untuk Eyang Putri, yang notabenenya orang tua mereka? Sosok orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, dan merawat mereka. Begitukah balasan yang diberikan pada orang tua yang sudah meninggal? Apakah mereka tidak ingin mendoakan Eyang Putri di alam sana?

Saya berpikir dan terus berpikir. Jangan salahkan bila Mama sangat dekat dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri. Jangan iri bila Mama yang selalu dibanggakan, diharapkan, dan dipuji dalam keluarga. Meski bukan anak pertama, tanggung jawab dan kedewasaan sikap Mama melebihi anak pertama dalam keluarga kami.

Seorang Kompasianer pria yang dekat dengan saya dan telah mengenal Mama mengatakan, Mama saya layak dijadikan teladan. Sebab tidak perlu menunggu untuk berbuat baik. Saya setuju dengan ucapan pria itu.

Di mata saya, Mama yang paling setia pada keluarga. Tidak pernah mengecewakan keluarga. Rela berkorban dan selalu bisa memberi yang terbaik. Pendengar yang baik, wanita bertanggung jawab, royal, dan penyayang.

Sepenggal cerita di atas menuai pelajaran berharga. Kebaikan, inisiatif, dan tanggung jawab bisa dimulai dari siapa saja. Stigma anak pertama sebagai panutan tak bisa lagi dijadikan pedoman. Peran anak pertama yang diharapkan menjadi penerus keluarga dan role model untuk adik-adiknya justru bisa tergeser oleh anak kedua, ketiga, dan seterusnya.

Anda Anak Sulung?
Bagi Kompasianer yang berasal dari keluarga dengan lebih dari satu anak, apa yang diharapkan dari anak pertama? Tanggung jawab? Kemandirian? Sukses dalam pekerjaan? Keturunan untuk meneruskan keluarga? Apakah hal-hal seperti itu tidak bisa dilakukan oleh anak tengah atau anak bungsu? Tentu saja bisa. Anak tengah dan anak bungsu mempunyai potensi yang sama untuk memajukan dan bertanggung jawab pada keluarga. Jika anak pertama tidak bisa diharapkan, justru ini menjadi motivasi bagi anak tengah dan anak bungsu untuk berusaha lebih baik lagi demi keluarga.

Terkadang, anak yang dianggap manja dan kekanakan bisa menjadi sangat dewasa. Pola pikirnya akan tumbuh lebih baik di bawah persepsi kemanjaan dan kekanakan yang dilekatkan keluarganya. Di balik sifat manjanya, tersimpan pemikiran bijak dan sikap dewasa. Anak yang dari luar terlihat manja justru berpotensi menjadi pribadi yang bijak, dewasa, bisa diandalkan, dan dapat dipercaya.

Kebanyakan keluarga menjadikan anak pertama sebagai tumpuan harapan. Terlebih jika anak pertamanya laki-laki. Ada anak pertama yang sadar, ada pula yang tidak. Sadar jika dirinya dibutuhkan keluarga. Pada kasus-kasus tertentu, pada akhirnya anak tengah atau anak bungsulah yang berbuat banyak kebaikan untuk keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun