Akhir-akhir ini negara kita diramaikan isu penistaan agama. Reaksi dan protes besar-besaran dilakukan, massa berdemonstrasi menuntut pihak berwajib menangani kasus tersebut. Kebhinekaan dipertanyakan, masihkah ada persatuan dalam perbedaan?
Belum selesai kasus dugaan penistaan agama, muncul tragedi pemboman gereja di Samarinda. Rumah ibadah dari suatu agama dihancurkan, entah untuk motif apa. Kebebasan beribadah umat beragama direnggut lantaran ulah pelaku pemboman tersebut.
Minggu lalu, saat saya bersiaran di sebuah radio di Kota Bandung, topik seputar toleransi beragama diangkat ke permukaan. Toleransi beragama dikaitkan dengan sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Sebuah program siaran yang bermuatan nilai positif dan membuka cakrawala pandang generasi muda tentang toleransi dan menghargai perbedaan.
Perbedaan, khususnya perbedaan keyakinan, bukanlah sesuatu yang layak untuk dipermasalahkan, diperdebatkan, dan dijadikan bahan konfrontasi. Bahkan perbedaan tidak menjadi alasan untuk keretakan hubungan antarumat beragama. Justru perbedaan harus diolah dan disikapi agar menjadi indah. Teman-teman saya di Jurusan Psikologi dan Linguistik sepakat, jika perbedaan itu indah.
Lewat pengalaman-pengalaman yang saya alami dan rasakan sendiri, perbedaan keyakinan tidak menjadikan alasan untuk berhenti membantu dan berempati pada orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Contohnya ketika saya berkenalan dan berinteraksi dengan klien-klien konseling dan hypnotherapy. Saya berempati pada mereka, saya berasosiasi pada masalah mereka, saya coba bantu mereka semampu saya dengan ilmu dan kemampuan yang saya punya. Meski banyak di antara mereka berbeda keyakinan dengan saya, itu bukan masalah. Saya tetap menyayangi dan membantu mereka setulus hati, sama seperti saya membantu klien yang seiman. Kasih sayang dan empati saya tak berkurang.Â
Saya menyayangi semua orang yang pernah saya coba berikan bantuan, dari mana pun mereka dan apa pun agama mereka. Sisi positifnya, saya jadi berteman dengan banyak orang yang berbeda keyakinan dengan saya, bahkan saya sampai mempelajari agama mereka agar bisa mengetahui banyak tentang mereka dan bersikap lebih bijaksana saat menerapi mereka. Menurut saya, mempelajari agama lain bukan untuk terjerumus dalam fanatisme atau mengikuti ajarannya, melainkan untuk mengenal agama lain lebih dalam. Dengan mengenal lebih jauh, maka kita akan lebih menghargai perbedaan. Menghargai pemeluk agama lain dan keyakinannya. Menghindarkan diri dari stigma negatif, makian, atau hinaan karena sejatinya semua ajaran agama baik. Semua agama mengajarkan tentang kebaikan hidup.
Saya jadi teringat perbincangan ringan dengan partner siaran di studio di sela-sela break siaran. Baru saya ketahui bahwa pada tanggal 4 November, ketika di Jakarta terjadi aksi memprotes penistaan agama, pada saat bersamaan di Sulawesi Utara pemuda Islam dan pemuda Kristiani bersama-sama membantu proses perbaikan sebuah masjid. Nyata sekali, masih ada umat yang menghargai perbedaan. Masih ada yang memandang tinggi arti toleransi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Kerukunan dan toleransi direpresentasikan dalam kegiatan tersebut.
Agama dalam kaitannya dengan hidup berbangsa dan bernegara bukanlah persoalan mayoritas dan minoritas. Jangan sampai kita terjebak dalam tirani minoritas atau diktator mayoritas. Semuanya harus berada dalam porsi yang seimbang. Jadikan perbedaan agama sebagai kunci untuk bertoleransi. Takkan ada toleransi bila tanpa perbedaan. Agama apa pun, baik Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Buddha mengajarkan tentang kebaikan dan kasih sayang. Sebagai umat yang beriman dan pemeluk agama yang baik, sudah semestinya kita menghargai perbedaan, membantu tanpa memandang suku, ras, agama, dan golongan, menyayangi tanpa tendensi apa pun, dan membudayakan toleransi dalam segala aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H