Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wajah Buruh Pemetik Gabah Menghadapi Lonjakan Harga

20 Maret 2023   14:57 Diperbarui: 27 Maret 2023   11:10 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti sebuah tradisi dari tahun ke tahun yang terus berulang-ulang dan layaknya lingkaran setan, lonjakan harga bahan pokok seperti tak dapat dihentikan. Bahkan jauh sebelum bulan Ramadan kenaikan bahan pokok sudah mulai terjadi.

Telur yang sempat dijual dengan harga Rp26.000 per kilo pada bulan Februari lalu, nyatanya mulai mengalami kenaikan menjadi Rp27.000, kini naik lagi menjadi Rp29.000. Biasanya kenaikan ini akan terus terjadi hingga menjelang hari raya Idulfitri nanti.

Tak hanya telur saja. Cabai yang juga menjadi salah satu bahan pokok juga mengalami kenaikan harga. Hal ini berimbas ke segala sektor.

Penjual sayur keliling yang biasanya menjual cabai secara eceran dan sedikit-sedikit kini kian membatasi jumlah cabai yang dijualnya. Dalam satu plastik cabai yang seharga Rp3.000 hanya berisi 10 cabai. Tak seperti waktu cabai murah, Rp3.000 sudah bisa membeli cabai yang cukup untuk 3 sampai 4 hari.

Naiknya harga cabai ini sangat disayangkan oleh warga kalangan menengah ke bawah yang gemar makan pedas. Jika cabai melangit otomatis sayur yang dimasak dengan cabai akan dikurangi juga jumlahnya jika tak ingin pengeluaran kian besar.

Keresahan akibat harga bahan pokok yang melonjak juga dikeluhkan oleh Mayem (bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kebonsari, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Dirinya yang hanya berprofesi sebagai buruh pemetik padi saat panen merasa keberatan dengan adanya kenaikan harga pokok.

"Apa-apa sekarang mahal. Padahal mau puasa dan lebaran. Kalau cuma mengandalkan derep mana bisa mencukupi," ujar Mayem.

Di desa ini profesi buruh pemetik padi dilakukan oleh wanita yang kebanyakan sudah lansia. Mereka bukannya tak ingin beristirahat di masa tuanya.

Namun, kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat mereka mau tak mau harus bekerja. Apa lagi anak-anak mereka juga mengalami nasib yang sama, kesulitan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun