Membongkar Sendu
Oleh: Latifah Hardiyatni
Aku mengambil kunci motor sebelum masuk ke dalam rumah. Terlihat Ibu Mertua sedang duduk di teras rumah dengan tatapan sendu. Tak ada semangat yang terpancar di wajah tuanya. Aneh, tak seperti biasa yang selalu bersemangat mengerjakan ini itu hingga adzan Dzuhur berkumandang.
Aku mengucap salam sambil membuka pintu pagar setinggi satu meter. Motor sengaja tak aku masukkan ke dalam rumah sebab sebentar lagi akan kembali ke TK. Bian, anak bungsuku akan pulang sebentar lagi. Ujian tengah semester menjadi alasan dia pulang lebih awal dari biasanya.
Ibu menengok dengan malas sembari menjawab salam. Tatapan matanya menatapku sejenak. Senyum yang terlihat sangat kaku itu tergambar dari wajah keriputnya.
"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil duduk di sebelah Ibu.
Mataku melirik minuman jahe dalam cangkir yang tadi kubuat belum juga disentuh oleh Ibu. Bahkan hingga uapnya menghilang minuman itu masih saja utuh. Pasti Ibu sedang ada sesuatu yang mengganjal pikiran dan mengusik perasaannya hingga minuman favorit yang setiap pagi tak pernah absen diabaikan begitu saja.
Alih-alih menjawab Ibu justru membuang muka sambil mendesah pelan. Perlahan, kepalanya menengok halaman depan rumah yang masih ada tenda untuk orang meninggal kemarin. Ya, kemarin pagi Bu Rahmi yang rumahnya berhadapan dengan rumahku meninggal dunia.
"Beberapa hari yang lalu aku masih ngobrol sama Rahmi," kata Ibu pelan dengan telapak tangan mengetuk-ketuk ujung pegangan kursi. "Dia memang terlihat pucat, tapi enggak mau disuruh berobat ke rumah sakit. Aku enggak nyangka kalau dia bakal meninggal."
"Ajal, kan, memang misteri, Bu. Cuma Tuhan yang tahu."
"Kok, kayaknya terkesan mendadak. Mendadak sakit ginjal dan meninggal."