Tugas mengedit? Sekilas aku merasa senang. Aku dulu sempat dihantui penasaran dengan pekerjaan mengedit. Satu hal yang membayangi fikiranku bahwa mengedit itu asyik, santai, seru pokoknya. Lebih enak dari pada menulis yang harus memikirkan banyak hal mulai dari ide, kerangka cerita, isi dsb. Itulah dinamika yang aku hadapi selama menulis. Belum lagi aneka kendala yang menghadang seperti penulisan kalimat yang tidak pas, alur yang janggal, cerita kurang menarik dsb. Sempat terbesit dalam benakku ingin menjadi editor.
Apalagi dosenku (panggil saja Bapak Angga) memberi wacana bahwa seorang pekerja editor digaji cukup besar dalam perusahaan percetakan. Ada suatu penerbit tertentu yang memberi harga sekitar Rp 8.000,00 per halaman. Waw Masyan Allah bayangin saja kalau yang diedit sekitar 200 halaman. Aku begitu bersyukur kebetulan tulisan yang aku edit bertema religius. Yey sedap aku semakin bergairah mengerjakan buah karya Devi Vidiyanti (teman kelasku PGMI E).
Mengedit atau menyunting menurut KBBI[1] yaitu mempersiapkan naskah yang siap cetak atau siap terbit (dengan memperhatikan terutama segi ejaan, diksi, dan struktur kalimat). Pada pembelajaran mata kuliah penulisan karya ilmiah inilah untuk pertama kali dalam hidupku aku menjadi editor. Aku masih terbayang minggu kemarin ketika dosenku memberi tugas kami menulis mengenai “Life Story”[2]. Tak semudah membalik tangan menulis butuh perjuangan dan pengorbanan. Menulis bagiku berbeda dengan berbicara yang otomatis dalam mengungkapkan segala hal.
Menulis ibarat tantangan yang perlu pemikiran mendalam sebelum mengungkapkan dalam bait-bait kata. Oleh karenanya aku relakan meluangkan waktu lebih dibalik padatnya kegiatanku. Bahkan aku rela lembur beberapa hari ke kamar temanku sekadar mengerjakan tugas ini (meskipun tugasnya bukan kelompok). Sebenarnya aku tidak pernah numpang mengerjakan tugas diluar kamar teman. Hanya saja yang namanya “The Power of Kepepet”[3] semua yang tidak mungkin jadi mungkin. Panyakit yang telah lama mengidapku ketika malam hari saat mengerjakan PR pasti aku merasa mengantuk dan ketiduran deh hehehhehe. Berubung mengerjakannya di kamar tentu aku lebih semangat dan termotivasi.
Pada pertemuan berikutnya Dosenku memberikan kami tugas mengedit karya teman. Awal mengerjakan rasanya enak banget tinggal coret sana coret sini. Tapi seiring waktu semakin ribet saja rasaya. Pasalnya masih banyak masukan-masukan dari Dosen yang sebelumnya aku tidak tahu. Penambahan fakta, catatan kaki, dan dalil agar tulisan semakin berbobot dengan hal-hal ilmiah. Ah dugaanku ternyata meleset, baik mengedit maupun menulis sama saja rumitnya. Saat mengedit pada tahap awal harus memahami isi tulisan secara menyeluruh, tahap kedua mengoreksi, tahap ketiga merevisi. Hal yang benar-benar membosankan bagiku ketika harus merombak sebagian besar tulisannya.
Astaga merombak? Sungguh aku merombaknya karena aku menemui banyak tulisan yang tidak padu antara satu dengan yang lain (maklum masih penulis pemula ya) selain itu aku juga menemukan penulisan yang tidak efektif dan peletakan kata konjungsi yang kurang tepat. Tentu bila hal ini dibiarkan bisa membuat bosan pembaca dan multi tafsir. Alhasil aku mengkonfirmasi terlebih dulu tulisan temanku dengan harapan tidak terjadi salah persepsi dari maksud tulisannya dengan editanku. Secara tidak langsung aku menguraikan kisahnya dengan bahasaku sendiri. Meski aku menulis dengan hati (mengalir dari jiwa) adakalanya aku menghapus dan mengganti kata dengan jumlah tak terhitung. Aku berupaya membenahi sebaik-baiknya tanpa menimbulkan pemahaman yang ambigu.
Percaya atau tidak mengedit cerita dengan ukuran12 pt, dan spasi 1 di kertas A4 sebanyak 5 halaman membutuhkan waktu ekstra bahkan melebihi jam ujian. Berubung sudah cukup lama tidak menulis aku membutuhkan waktu hampir 1 jam untuk mengedit 1 halaman. Belum lagi deadline[4]yang sudah di depan mata turut memacu untuk meyelasaikan secepat mungkin. Sebagaimana tugas menulis life story minggu kemarin jatah waktu kami mengerjakan hanya 5 hari. Apa boleh buat aku mencoba mencuri waktu di setiap celahnya seperti ketika menunggu dosen pengajar kuliah reguler atau dosen PKPBA[5] datang, saat azan asar berkumandang di tengah jam PKPBA, sore hari saat menunggu kegiatan qobla[6]maghrib di ma’had[7]. Beruntung gadget[8]yang aku miliki cukup membantu. Prinsipku mengetik tidak harus terpaku di media laptop dengan kapasitas baterai, ukuran, atau efisiensi yang terbatas. Handphone atau tablet pun juga bisa dimanfaatkan. Meskipun kulaitan fitur tidak sebaik Ms. Word di laptop namun bagiku itu bukan penghalang yang berarti. Mengetik atau mengedit tulisan di gadget sebanyak mungkin mampu berdampak besar sebagaimana pepatah yang mahsyur ini “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Pada akhirnya pun file dari gadget bisa dipindah ke laptop untuk lebih menyempurnakan.
Tugas mengedit ibarat memecahkan kasus misteri. Membutuhkan tingkat kecermatan, analisis, dan ketekunan yang tinggi. Tak heran aku terlihat sok sibuk dengan seringnya memandang layar sekaligus menarikan jari-jemariku di keyboard. Kamarku, kamar temaku, kelas perkuliahan reguler, kelas PKPBA, masjid, teras gedung kuliah semua pernah menjadi wahanaku dalam mengerjakan. Tak peduli waktu atau tempat yang ada setiap ada peluang aku manfaatkan.
“Eh... kamu kok sibuk banget sih, “ celetuk temanku PKPBA.
Aku sekadar membalas senyuman. Aku pribadi santai saja, selagi aku tidak melakukan hal tercela buat apa mempersoalkan. Alhamdulillah akhirnya selesai juga. Tepat hari kamis, tanggal 9-12-2017 sekitar pukul 16.45 ba’dha[9] PKPBA jam ke-tiga akhirnya selesai juga tugasku mengedit. Segera aku aktifkan koneksi Wi-Fi di laptop dan mengirim file tugasku mengedit yang berjudul “Jalan Hijrah” via email ke alamat dosenku Anggateguh@Gmail.com. Huh rasanya benar-benar lega. Bergelut dengan ratusan kata-kata ibarat mencari mutiara di dasar laut. Berat dan menantang namun pada akhirnya membuahkan kepuasan yang luar biasa. Aku semakin mencintai dunia menulis. (LFA)