Tuhan … apakah doaku selalu sampai kepada-Mu? Kalau iya, lewat apa? Bisakah aku mengirimkannya bersama burung-burung penguasa udara, agar ia lebih cepat sampai pada-Mu? Atau bisakah kutitipkan bersama hembusan angin, dan menerbangkannya ke dalam balon menuju langit? Lewat elektronik mail dengan koneksi tercepat, terakurat dan tanpa masa tunggu; kalau bisa harus kukirimkan ke alamat apa agar bisa segera sampai ke singgasana-Mu, surga?
Dengan short message service yang lebih dulu membuangnya ke tempat tinggi, tapi mana nomor yang bisa kuhubungi? Aku bisa mengusahakan dua hal itu. tapi bahkan kedua alamat yang langsung menuju-mu aku belum temukan itu. Atau kupilihkan opsi yang lain, kualirkan bersama aliran air laut yang tak berujung itu ke dalam botol kaca- perahu kertas –pesawat lipat, atau aku harus terbang dulu bersama besi terbang lantas membuang pesan-pesan tertulis, atau tinggal memejamkan mata dan menyebutkan semua yang kuinginkan. Agar pesan itu lebih cepat sampai, dan aku akan segera mendapatkan senyum yang pernah terenggut beberapa waktu. Sekalipun aku bisa tersenyum saat ini juga, tapi, bisakah Kau kabulkan dulu doa-doaku?
Dalam tiupan angin yang berhembus sedikit kencang siang ini, Tuhan membisikkan jawaban semua pertanyaan itu dari dalam hati. Mataku tiba-tiba terbuka, dan suara itu kutemukan …
“Semua akan baik-baik saja”
Aku beranjak dari kursi panjang taman, sambil menyunggingkan senyum kepuasan tanpa henti. Untuk kali ini, sesi curhat panjang hari ini kucukupkan. Aku harus tetap bergerak menemukan pintu yang ditutupi keputus-asaan. Aku akan mencari lebih dalam jawaban tadi. Ibu, Kakak, teman, dan orang-orang tersayang, tunggu aku membagikan jawaban yang Tuhan berikan.
Tuhan, terima kasih; suara-Mu tadi begitu meneduhkan.
***
Kutulis semua cerita dan keluh yang ibu ceritakan malam tadi, cerita kakak, ayah, tentang teman-teman yang sedang dilanda kesusahan. Pembelanjaan ibu yang membengkak karena harga bawang naik, kakak yang sedang menghadapi ujian, dan adik yang sedang menunggu pengumuman kelulusan. Sementara itu, ayah hanya memberikan satu permintaan ; ayah ingin lebih dikuatkan agar bisa terus menampung airmata kami keluarganya. Dea, Mira, Asfi, dan Rere yang sedang kesulitan karena mereka tak bisa pulang kampung karena orang tuanya yang telat mengirim uang bulanan. kurangkum semua catatan itu dalam buku kecil. Maaf, aku belum sempat datang ke warnet dan menyalinnya satu persatu. Mungkin aku baru akan datang seminggu, atau beberapa hari lagi; tulisan ini akan kuselipkan saja bersama balon udara milik adik yang kuambil diam-diam.
Tuhan, dalam beberapa kali mataku menangkap kejadian milik orang; mendengarnya dari mulut ketiga atau hal itu terjadi sendiri padaku; kadang aku putus asa menghadapinya. Bertanya bagaimana aku bisa menghadapinya? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan asa yang semakin tak ada. Ingin berhenti bernyawa dan mengakhiri segalanya, sekalipun aku tahu kehidupan tak hanya berhenti pada kematian. Tapi setidaknya aku tak perlu berkutat dan berurusan dengan banyak orang, urusan itu beralih hanya kepada-Mu. Semacam kelas privat yang hanya diisi murid dan guru.
Semalam rentenir itu datang, menggedor pintu rumah kasar. Meminta ayah segera melunasi hutang-hutangnya pada mereka. Mereka tak adil Tuhan, mereka berjumlah banyak dan berbadan besar. Dan sekuat apapun kami mencoba melawan, tak akan ada gunanya juga. Kami akan kalah dalam tenaga, sekalipun jumlah kami berlima. Bagaimana ayah bisa membayar hutang-hutang itu, baru saja kantor ayah pailit. Ayah terpaksa dibebas tugaskan untuk mengurangi pengeluaran kantor yang harus dihemat sedemikian rupa. Ibu? Bulan-bulan terakhir ini ibu memutar otak lebih lincah untuk membelanjakan uang pesangon ayah yang tak seberapa. Sementara aku? Aku belum punya pekerjaan, adik dan kakakku juga masih dalam tanggunggan kedua orang tua.
Dan dalam mimpi, masalah itu muncul dalam wujud lebih mengerikan lagi. Kami yang diusir dari rumah sendiri, ayah mendadak kehilangan kendali, ibu pingsan dan kami hanya bisa menangis tersungguk di depan rumah. Masalah itu Seperti tak mau berada jauh-jauh dari kehidupanku. Atau lebih tepatnya kepalaku. Paginya, aku bangun dengan kepala yang lebih pening; dan pertanyaan itu terasa lebih jelas terngiang-ngiang di telinga. Bagaimana bisa kulanjutkan hidup dengan membiarkan beban orang tua masih menggelayut di bahu mereka? Bagaimana bisa?
Merasa Tuhan sedang alfa karena biasanya selepas bangun tidur masalah-masalah itu akan sedikit berkurang, tapi kali ini setelah bangun dari tidur panjang … perutku justru semakin mual, dan kepalaku serasa dipukul godam besar. Silau matahari kali ini seperti sedang mengolok-olokku, dan aku benci melihatnya.
Oh Tuhan, Kau sedang dimana?
Kenapa semalam Kau tak datang? Seperti superhero yang menjadi pelindungku dari para rentenir dalam mimpi itu? hingga esok harinya kepalaku tak perlu bertambah berat memikirkan segala macam ketakutan dan kegusaran. Dimana kalimat andalan itu?
Ah, aku berhenti mengajukan Tanya. Mungkin sudah saatnya aku mencari sendiri jawabannya.
***
Tuhan, sudah dua kali dua puluh empat jam pesan itu kukirimkan? Sudahkah Kau menerimanya? Ada dua lembar kertas hvs yang kurobek jadi beberapa bagian dan kulipat kecil-kecil kemudian kusebar dalam berbagai macam cara. Kuselipkan dalam balon, dalam botol, kualirkan dengan perahu kertas, juga kuterbangkan dengan lipatan-pesawat buatan. Atau, semuanya terhenti sebelum sampai Pada-Mu?
Aku menepuk dahi, bisa saja semua doa itu tersangkut di pepohonan. Atau balon itu meletus sebelum sampai ke langit. Atau mungkin kertas-kertas itu sudah lebih dulu layu tersapu gelombang air yang lebih tinggi. Tapi, dimana harusnya kucari suara yang begitu teduh itu? suara yang membuat hati damai, tenang? Suara yang sama belum kutemukan sejak sesi curhat siang di taman beberapa hari lalu.
Atau kusampaikan saja lewat sesi curhat siang ini, Tuhan? Kau sedang tak ada pekerjaan bukan? Ini murni waktuku dengan-Mu bukan? Waktu beristirahat dari urusan dunia? Baiklah, akan kusampaikan langsung saja. Aku yakin Kau punya koneksi tanpa halangan kepada hamba-mu ini, bukan jaringan internet, telepon, atau sesingkat pesan di handphone. Jaringan itu pasti lebih luas dan besar dari semesta itu sendiri, seperti pertanyaan tentang dimana Kau.
Tuhan, dalam tengadah tangan selepas menunaikan kewajiban yang Kau berikan; aku hanya minta sedikit asa untuk kembali. Kembali pada hari esok yang lebih baik. Pada jalan yang lebih terang setelah aku tersesat di gua yang tak memiliki celah menyampaikan sinar. Tolong, kembalikan asa yang pernah Kau berikan dulu. Itu hak-ku bukan, Tuhan? Dalam sesi panjang curhatku kali ini. angin kedamaian itu kembali datang, menyentuh anak rambut di dahiku. Memeluk tubuhku dari semua pikiran buruk. Mencengkeram semua kegusaran dan menggantikannya dengan perasaan tenang, lepas, bebas. Ada keheningan menyeruak, ketenangan, kedamaian.
Dan dalam tengadah tangan selepas tunaikan kewajiban, setelah sesi curhat panjang di terik siang. aku mendengar bisik jawaban itu lagi dari dalam hati. "semua akan baik-baik saja"
Tuhan, itukah Kau? betapa meneduhkan suara itu.
Bisikan itu kutemukan lagi … “Semua akan baik-baik saja” Ibu, ayah, kakak, dan semuaanyaa! Dengarkan! Jawaban itu kutemukan. Cepat Buat janji di waktu Tuhan sedang mengirimkan koneksi –Nya pada kita. Cepat buat janji privat dengan-Nya. Ada banyak waktu, Kalian tahu itu semua … dan kalian akan segera mendengar hal yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H