Sepeda Kumbang
Sepeda kumbang yang sudah berkarat adalah bukti ketangguhan dirinya. Karat-karat itu lah yang membuktikan jika ia setia pada hidupnya. Setia pada negara, katanya setiap ditanya tetangga. Tetangganya pun hanya melongo jika sudah mendengarnya begitu. Bukan bengong karena pekerjaannya, tapi bengong karena kesetiaannya menjadi guru. Guru negeri meski kadang harus makan hati. Guru yang bisa membuat orang pintar seperti Pak Habibi.
Umar pergi ke sekolah pagi itu seperti biasa. Setelah menghabiskan pisang kepok rebus yang dihidangkan istrinya. Sebagai guru matematika favorit di sekolahnya, ia terpilih menjadi guru pembimbing sehingga setiap harinya harus berangkat lebih pagi dari guru yang lain. Lumayan mendapatkan tambahan dua belas ribu rupiah tiap harinya. Cukup untuk beli rokok satu bungkus.
Umar paling benci jika musim hujan tiba. Sepedanya harus rela bermesraan dengan lumpur jalanan yang berlubang. Belum lagi jika ia harus melihat sepatunya yang sudah disemir kinclong mendadak berlipstik lumpur. Belepotan.
“Ayo, Pak! Kejar saya!” suara motor meraung dari belakang. Umar sudah bersiap banting setang ke kiri menghindari kubangan, namun karena apes adalah temannya dan sial adalah belahan jiwanya, ia pun terbasuh air-air cokelat lembek itu. Baju dinasnya kotor. Ia hampir terjerembab ke selokan jika saja tangannya tidak cekatan menopang tubuhnya.
“Awas, nanti di kelas! Huh!” Umar mendengus. Memaki murid bengalnya yang bernama Alex. Alex sudah lebih dulu menggilas tas hitamnya yang tergeletak tak jauh dari selokan sebelum Umar membetulkan posisinya.
Sepanjang perjalanan Umar ngedumel sendiri. Tasnya tersampir di setang sepeda karatan berhias lumpur di sana-sini. Berbagai ide muncul di benaknya. Ya, ia akan mengebiri Alex di kelas nanti. Ia tidak akan melukainya, tidak. Ia hanya ingin membuat Alex jera hingga tak barulah lagi padanya.
“Itu tandanya mereka senang sama Bapak,” tanggapan Bakri, si tukang kebun setelah mendengar keluh kesah Umar. Pagi itu hanya ada mereka berdua di ruang guru.
“Saya ini enggak bodo, Kri. Wong jelas-jelas mereka itu mbalelo."
“Lah kalau mbalelo, mereka enggak mungkin berani becandaan sama sampeyan tho, Pak.”
“Halah yo wis, sekarang mana kopiku?”