Batang-batang tebu berhamburan di tanah kering. Di lahan seluas hampir satu hektar itu kini dipenuhi sisa bara dan jelaga bekas pembakaran. Lahan itu kini gundul seiring sukacita yang merekah di hati para pemanennya.
Aku sedang duduk di tepi lahan bersama denganmu.
“Kau masih ingat dulu ketika kita bermain di lapangan itu?” tanyaku padamu. Jariku menunjuk sebuah lapangan bola yang berada di sebelah timur hamparan lahan tebu. Para pemanen kini sudah berkumpul. Truk-truk pengangkutnya juga telah siap di ujung jalan di pinggir lapangan. Ketika seorang mandor keluar dari truk, para pemanen itu menyambutnya dengan antusias. Beberapa galon air mineral yang dibawa mandor pun seketika habis ditenggak oleh tenggorokan mereka. Tengorokan kering dengan butiran keringat yang melesat turun membasahi baju-baju lusuh mereka.
Kau masih menekuni kegiatanmu. Jemarimu hampir tidak pernah berhenti menekan keyboard laptop yang bertengger di pangkuanmu. Kupandangi lagi mereka yang tengah kembali berjibaku dengan panas dan jelaga. Para pemanen tebu itu kini mengangkat hasil panen mereka ke truk-truk yang menanti di jalan. Ada senyum di bibir mereka yang tidak sengaja melihat kita, namun kau tetap saja menarikan jemarimu itu tanpa menghiraukan mereka.
“Kau ingat?” aku mengulangi pertanyaanku. Sama sekali bukan untuk memaksamu mengingat kembali kenangan yang kita lalui dulu. Aku hanya tidak ingin perjumpaan kita yang sebentar ini akan sia-sia belaka.
“Aku tidak mungkin lupa.” katamu akhirnya. Seketika kelegaan menjalar di hatiku. Kemudian kau menunjukkan sebuah foto yang ada di laptopmu. Kau memindahkan laptop itu ke pangkuanku sementara jari-jarimu berusaha menuntun tanganku yang gigu.
Aku mengamati foto-foto itu satu per satu dari satu slide ke slide yang lainnya. Foto-foto itu masih sama asli dengan yang kusimpan, hanya milikku sedikit lebih buram. Potret hitam putih di dalamnya begitu lugu tanpa neko-neko. Entah apa yang membuatmu berhenti menggerakkan jemarimu ketika terpapar gambar yang kita lihat. Di sana, di gambar itu kau mengenakan gaun berenda warna ungu muda, sementara aku mengenakan kemeja putih panjang. Satu orang di belakang kita menangkupkan dua tangannya. Satu di pundakku dan satu lagi di pundakmu. Wanita itu tersenyum lurus menghadap kamera sementara kau seperti biasa melipat bibirmu yang mungil, cemberut. Aku memindahkan ke slide selanjutnya, namun jarimu terlalu sigap untuk menahanku. Kau meraih laptopmu lagi dan menaruhnya di pangkuanmu seperti semula.
Para pemanen masih terus mengais batang-batang tebu. Sebagian mengikatnya dengan tali bambu, sebagian lainnya mengangkutnya ke truk pengangkut. Seorang di antaranya tersenyum lagi padaku. Dari sorot matanya bisa ditebak jika ia mengira aku dan kau sepasang kekasih.
“Aku masih berhutang satu hal padanya.” katamu setelah sekian menit terdiam. Foto itu masih terpampang jelas di hadapanmu. Matamu yang mulai dirembesi titik-titik air masih lekat dengan sosok yang kau maksud. Perlahan kau mengusapnya meskipun itu tidak membuatnya berhenti mengalir.
“Bukan salahmu.” aku bingung harus membalas apa tentang yang kau katakan. Semua yang terjadi memang bukan salah kita.
Dulu, hampir setiap pulang sekolah, kita bertiga menghabiskan waktu di lapangan ini. Menangkap kupu-kupu dengan jaring kecil yang kita kaitkan pada ujung batang kayu. Ia lebih lihai darimu dalam hal ini. Sebagai hasilnya, kau selalu cemberut saat kau tak dapat satu pun kupu-kupu sementara aku dan dia menggengam kantong plastik berisi dua atau tiga ekor kupu-kupu.