Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kotak Kayu di Atas Lemari (Cerpenisasi Film Pendek Televisi)

30 Desember 2012   05:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:48 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kotak Kayu di Atas Lemari

Oleh: Latif Nur Janah

Kemacetan Jakarta sudah menjadi santapan sore saya. Mata saya sudah hafal dengan pemandangan seperti ini. Pulang kerja dan macet, dua hal yang saat ini semakin dekat saja kekerabatannya, semakin karib. Akhirnya, saya putuskan untuk turun dari mobil. Pak Murdiman, sopir saya, berkendara sendiri.

Kaki saya pun tak terlalu kaku berbaur dengan padatnya mobil di jalan raya. Anak jalanan, pengemis, dan pengamen kini telah menjelma menjadi kawan. Kami satu derajat, satu kedudukan sebagai pengguna jalan. Maka ketika mata saya menubruk seorang pengendara motor yang tengah berbisik-bisik dengan seorang polisi lalu lintas, saya hanya tersenyum saja. Saya melihat jelas si pengendara tengah menyodorkan uang kepada polisi. Saya diam bukan berarti tak peduli. Ketika mata polisi itu bertatap dengan mata saya, saya tahu betul bahwa polisi itu tahu jika perbuatan buruknya telah terbaca. Jadi, bukankah saya tak perlu lagi menegurnya?

Saya anak perempuan yang beruntung. Jika dikatakan berkecukupan, itu sudah tentu karena Ayah dan Ibu lebih dari sekadar cukup memberikan cinta kasihnya kepada saya. Saya berjalan di trotoar bukan apa-apa. Ayahlah yang telah banyak menginspirasi hidup saya. Dan, sulit dipercaya ketika Ibu mengatakan saya duplikat Ayah.

Pikiran saya melayang pada sebuah cerita yang pernah Ibu tuturkan. Ya, tentang seseorang yang telah memberikan segalanya pada Ibu dan saya. Tentang sebuah tekad, keyakinan, dan keteguhan. Tentang Ayah.

Hidup terlampau keras dijalani oleh Ayah dan Ibu. Malam tak akan berarti apa pun jika pesanan baju yang Ibu jahit belum tersusun. Sebagai penjahit yang hanya mengandalkan pesanan orang, upah yang Ibu terima memang tak seberapa. Belum lagi krisis 1998 yang memakan banyak korban. Korban nyawa, korban perasaan, dan korban keuangan yang berimbas pada rakyat kecil seperti Ayah dan Ibu.

Ayah, sebagai penjaga gudang beras milik pemerintah, tentu tak seberapa gajinya. Ia bukan pegawai dengan gaji yang pasti.

Berita yang terdengar dari televisi itu menghanguskan perasaan Ibu. Duduk di meja jahitnya, dengan masih menggantungkan meteran di lehernya, ia mengelus dada. Tak tahu, nasib buruk apalagi yang akan diterima rakyat sepertinya.

“Kau harus banyak mengucap syukur, Ning. Bapakmu telah memberikan semuanya untuk kita.” begitulah kalimat Ibu yang terus terpahat di pikiran saya. Selalu ia ucapkan sebelum berkelana dengan cerita tentang Ayah.

Ayah tak bisa berbuat banyak. Gaji yang tak pasti, yang harus ditungguinya, tentu membuat Ibu yang memerankan tugasnya. Dalam sebuah kotak kayu kecil di atas lemari, Ibu mengemas uang hasil jahitannya. Saat itu, aku masih berumur enam tahun. Adikku, Joni, masih berada di gendongan Ibu. Belum bisa berjalan.

“Saya bayar setengah dulu, Sus. Nanti, sisanya saya angsur.” Ibu berkata pada seorang suster saat memeriksakan Joni di puskesmas. Tanpa sepengetahuan Ayah, Ibu membawa Joni ke sana, tentu dengan uang di kotak kayu di atas lemari.

Seperti terhempas begitu saja kelakian Ayah melihat kotak itu. Namun, lagi-lagi ia tak bisa berbuat banyak. Menunggu gaji adalah ritual yang harus dijalani penuh sabar. Makan malam berempat dengan seepiring nasi dan sebutir telur rebus pun sudah kami jalani.

“Ayahmu tidak mau makan. Ia berikan telur itu untukmu dan adikmu.” di tengah penuturannya, setetes air mata meleleh di pipi Ibu.

Suhu tubuh Joni meninggi lagi. Di kamar, Ibu tengah mengelus-elusnya, berusaha meredakan panasnya dengan handuk dingin. Ketika sebuah ketukan dari pintu terdengar, segeralah Ayah membukakanya. Bukan Ayah jika tidak menyambut tamunya dengan hangat.

Seorang laki-laki paruh baya berkaus garis horisontal dan celana panjang bahan duduk di depan Ayah. Laki-laki itu tentulah bukan rakyat kecil seperti kami. Terlihat dari pakaiannya yang bersih dan rapi. Seutas senyum selalu terkembang di bibirnya.

“Tadi saya sudah ke rumah Pak Wiryan, Pak. Beliau sudah terima uang dari saya. Sekarang keputusan ada di tangan Bapak.” senyum kembali terkembang di bibir laki-laki itu. Ayah duduk kaku di depannya. Sebuah kunci yang tergantung tak jauh dari tempatnya duduk memenuhi pikirannya.

“Ini adalah hak Pak Budi sepenuhnya karena Pak Wiryan sudah setuju jika saya mengambl beras dari gudang. Tinggal Bapak mau atau tidak, membukakan gudang untuk saya.”

“Saya tidak bisa, Pak.” samar namun tegas, sebuah jawaban meluncur dari bibir Ayah. Kelegaan melingkupi hati Ibu yang saat itu tengah berusaha untuk menenangkan Joni di kamar. Bersikeras menahan Joni agar tidak menangis. Takut kalau pembicaraan Ayah dan tamunya tidak terdengar, hanya berjaga agar ia tidak melewatkan satu kata pun yang Ayah ucapkan.

“Ini untuk Bapak.” setumpuk uang seratus ribu-an tergeletak di meja. Tentu pikiran Ayah terusik. Ekonomi keluarga yang buruk ditambah Ibu yang beberapa minggu ini berhenti menjahit demi menjaga Joni  terus berputar-putar. Pikirannya mendorong untuk segera mengantongi uang itu.

Detik berlalu dalam diam.

“Saya tidak bisa, Pak.”

Setumpuk uang dikelurkan lagi oleh tamu Ayah. Sembari menatanya di meja ia berkata, “Saya tahu, Pak, keluarga Bapak sedang butuh uang. Jadi, apa salahnya menerima uang dari saya? Jujur saja, uang tersebut tidak berarti apa-apa buat saya. Kalau masih kurang, saya bisa….”

“Saya tidak bisa, Pak. Silakan Bapak pergi dari rumah saya!”

Tidak, tidak. Sedikit pun Ayah tidak membentak lelaki itu. Bahkan, tangannya dengan lembut memunguti uang itu untuk kemudian ia serahkan pada tamunya.

Ibu memeluk Joni seeratnya. Tangis pun pecah bersamaan dengan munculnya Ayah di pintu kamar. Tubuh Ayah pun menjadi muara air mata Ibu.

Pak Murdiman menghampiri saya di depan gang, namun kaki saya  terlanjur akrab dengan trotoar.

Gemolong, menjelang Januari 2013

*cerpen ini sebagai apresiasi saya terhadap  film pendek  yang ditayangkan beberapa hari lalu di sebuah  stasiun televisi nasional (saya lupa judulnya, hehhehe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun