DUA malam yang lalu, tepatnya sebelum istriku merengek untuk mengunjungi orang tuanya di Padang, aku bermimpi hingga keringatku membasahi tengkuk. Dalam mimpi itu, aku bertemu dengan Bapak. Entahlah, Bapak yang telah meninggal—sebelum aku sempat menamatkan SD—tiba-tiba muncul di hadapanku, sendirian.
Aku ingin sekali memeluknya, tapi tentu tak akan bisa. Mungkin benar, dunia kami berbeda. Ada sekat yang tak mungkin kusibak—meskipun dalam mimpi. Saat kulihat dengan seksama, wajah Bapak begitu tirus, kurus seperti tak terurus. Lalu, aku berpikir, barangkali inilah yang diterima Bapak di alamnya, sebagai balasan akan apa yang telah dilakukannya pada Ibu.
Aku kerap mendapati Bapak pulang beberapa jenak setelah Ibu membangunkanku tengah malam. Ya, sebelum aku sempat mengambil air wudu, aku melihat Bapak terkapar di ruang tamu. Matanya merah, uar aroma entah apa, santer keluar dari mulutnya. Baunya tak enak, menusuk-nusuk hidung. Jika Ibu terlambat sedikit saja membukakan pintu, maka bukan hanya teriakan yang akan diterimanya. Bahkan, aku pernah melihat Ibu menangis setelah telapak tangan Bapak mendarat kasar di pipinya.
Aku tak berani melakukan apa pun. Tak berani berbicara apalagi melarang Bapak agar tak berbuat demikian. Tapi sungguh, aku bisa merasakan apa yang tengah Ibu rasakan saat itu. Hingga pernah, tangis Ibu semakin menjadi ketika ia melihatku meringkuk dengan air mata terburai.
“Jangan pernah membenci bapakmu,” Isak Ibu meriuh. Kata-katanya seperti tertelan kembali.
Setiap kali aku mendengar Ibu berkata begitu, hatiku gaduh. Munafik jika aku tak merasa membenci Bapak. Siapa yang tahan melihat Ibu diperlakukan seperti itu? Ditampar saat pulang, dan dimaki sebelum pergi.
Tepat suatu petang sebelum Ramadan, Bapak pulang tak seperti biasanya. Aku tak melihat mukanya yang lusuh dan matanya yang memerah, meskipun aku masih bisa membaui aroma minuman keras dari bibirnya yang hitam. Bapak membawa sebungkus martabak kesukaanku. Aku girang bukan kepalang. Rasanya, aku sampai tak bisa menahan air liur yang menggenang di ujung bibir. Namun, saat tanganku hendak meraih bungkusan itu dari tangan Bapak, Ibu buru-buru mencegahku. Martabak itu terjatuh—dan aku yakin Ibu tak bermaksud menjatuhkannya. Ia hanya melarangku memakannya, itu saja.
Bapak meradang. Bungkusan itu kemudian dilempar kasar mengenai muka Ibu. mataku tiba-tiba nanar. Aku merasakan ada yang tergenang. Sampai sekarang, jika aku melihat wajah Ibu, aku seperti merasakan sentuhan tangannya di kepalaku. Persis saat tangannya yang kapalan menyibak rambut dan mengusap air mataku.
“Jangan pernah membenci bapakmu, Pram,” Itu yang Ibu ucapkan di malam hari berikutnya saat kami tuntas menyelesaikan salat malam. Dan itulah yang membuatku sampai sekarang ini—saat dua orang anak melengkapi pernikahanku—menyimpan pikiran semacam: jika ada seseorang yang mampu membuatku tidak membenci Bapak, maka aku akan sangat beruntung. Tapi aku tahu, keberuntungan belum sepenuhnya memihakku.
Yang menjadikan pikiranku terasa menggajal berikutnya adalah, Ibu begitu meratapi kepergian Bapak. Seolah-olah setelah Bapak meninggal, timpanglah hidupnya. Barangkali, ia merasa, hidupnya tak akan lagi berguna. Tak ada tambatan, begitu pun tumpuan.
“Sudah menjadi garis Tuhan, Bu,” ucapku ketika dua tahun lalu aku pulang dari Jakarta. Wajah Ibu selalu sama. Wajah penuh duka kehilangan. Tak peduli sudah bertahun-tahun ia ditinggal.
“Dan sudah menjadi tugas Ibu mengingatkan Bapakmu, Pram,” Bukan, sama sekali bukan dengan kemarahan Ibu berkata demikian, tetapi ada duka penyesalan dalam jeda ucapannya. “dan Ibu gagal.”
Memang, Bapak meninggal sebelum sempat bertobat. Ah, jangankan memperbaiki perilakunya kepadaku dan Ibu, bahkan aku belum pernah sekali pun melihatnya duduk bersimbuh mengenakan sarung. Atau melolosi tasbih di ruas-ruas jemarinya.
*
ISTRIKU diam saja ketika aku menceritakan mimpiku bertemu Bapak tempo hari. Kulihat mukanya tanpa ekspresi. Aku tahu, memang tak ada hubungan antara mimpiku dengan keinginannya yang kebelet ingin pulang Lebaran ke Padang. Sungguh, aku hanya ingin ada yang mendengarkan ceritaku. Dan, setelah beberapa saat aku diam oleh karena terlalu dalam terlempar ke dalam mimpiku sendiri, istriku mengangkat muka. Dengan wajah yang tak bisa kuterka, ia mulai bicara.
“Nanti kita Lebaran di Jogja saja,” ucapnya singkat.
Mendengar itu, aku seperti tak bisa lagi berkata-kata. Bahkan, mataku malah berkaca-kaca. Anakku, yang semula khusyu di depan televisi, kini menyusul kami di beranda. Dilan, anakku yang pertama, terbengong mendapatiku mengusap air mata. Hatiku terenyuh, segera kupeluk istriku. Aku merasakan keberuntungan datang tiba-tiba malam itu.
Dua tahun berturut-turut, aku selalu menuruti kemana pun Ningsih—istriku—pulang. Maka segera saja setelah itu, aku menelepon mertuaku di Padang. Kukatakan pada mereka, kami sekeluarga akan ke Jogja Lebaran nanti. Aku lega mereka bisa mengerti. Selepas itu, dengan hati bergetar, kutelepon Ibu. Dari seberang sana, isaknya terdengar pilu.
Gemolong, Ramadan 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H