Bocah Payung
Oleh: Latif Nur Janah
Petir pertama terdengar sebelum aku sempat menata tubuhku. Bangku kereta sudah sesak sementara masih banyak penumpang yang tidak dapat tempat duduk di belakangku. Gelegar petir kembali terdengar. Kali ini aku sudah menghempaskan tubuhku di atas kursi di dekat jendela. Di sanalah tempat kesukaanku. Memandangi dari balik jendela adalah rutinitas yang selalu kulakukan walaupun setiap hari aku menggunakan kereta untuk transportasiku ke kantor. Namun, semuanya toh tetap terasa menyenangkan.
“Bisa mepet ke jendela sedikit, Mas?” suara seorang pria paruh baya yang baru saja meletakkan ransel besar di sebelahku mengejutkanku. Aku tersenyum padanya lalu menggeser tubuhku beberapa senti lebih dekat ke jendela.
Pria itu menarik ranselnya kemudian menjorokkannya ke dalam kolong kursi. Aku mendengarnya mendesah sebelum akhirnya melipat kedua tangannya di dada seolah bersiap tidur. Kukeluarkan sebuah buku yang ada dalam tas kecilku. Aku memang terbiasa membawa buku untuk sekedar melepas kebosanan dalam perjalanan. Sebelumnya aku tak pernah menyukai buku. Di dalam kereta inilah aku bertemu dengan seseorang yang membuatku jatuh cinta pada buku.
Kereta terus bergerak begitupun awan yang terlihat dari jendela. Semakin hitam dan mendung. Udara juga mulai terasa dingin meskipun di kereta begitu sesak. Kubetulkan letak kacamataku dan mulai membaca. Penjual pecel yang sedari tadi duduk di antara desakan penumpang mulai melebarkan senyumnya, dagangannya laris-manis.
Baru dua halaman kubaca, kulihat seorang pemuda yang tadinya berdiri dan berdesakan di antara penumpang lainnya mencoba merebut posisi duduk seorang perempuan muda di bangku sebelahku. Aku melihat ketegangan di antara keduanya, namun tetap saja si perempuan muda itu mengalah, tidak mau ribut. Ia berdiri menjauh dari pemuda itu sementara pemuda yang kira-kira berumur belasan tahun itu dengan santainya merebah di kursi yang sesak itu. Hal yang kusaksikan hampir setiap hari. Dan seperti biasanya, tidak ada yang perduli.
Titik-titik air mulai merembesi kaca jendela di sebelahku seiring dengkuran yang semakin nyaring dari pria yang sedang duduk tepat di sampingku. Meski ramai, ia tetap terlelap, seolah kereta ini kereta pribadinya. Kututup bukuku. Bukan, sama sekali bukan karena terganggu dengan suara dengkur pria itu, namun beberapa menit lagi kereta akan sampai di stasiun.
Bagai estafet, suara hujan dan petir semakin bergemuruh, bersahut-sahutan. Rupanya bukan aku saja yang bersiap turun, pemuda usil tadi juga beranjak dari tempat duduknya. Telinganya tersumpal headset walau jelas-jelas ia tak menikmatinya. Ia terus saja menghujat petir-petir yang semakin keras terdengar.
Kereta mulai melambat. Suasana kereta berangsur lengang. Masih kubawa buku yang tadi kubaca dan sengaja tidak kumasukkan dalam tas. Kali ini aku sudah sampai di stasiun setelah berebut keluar dengan banyak pedagang gerabah. Pemuda usil itu ada di belakangku, memegang ponsel yang ia dekatkan ke telinganya. Dari nada bicaranya, ia mengeluh karena hujan tak juga reda.
“Payung, Mas?” bocah laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul terdengar cekikikan. Ia merebut buku yang kubawa sedari tadi lalu melenggang pergi.