Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berlian untuk Vivian

1 Agustus 2013   20:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

GAJIKU dari kantor, sudah kusimpan rapi dalam lemari. Aku ingin memberikannya beberapa untuk saudara-saudaraku di kampung. Maklum, aku tak mungkin pulang tanpa membagi-bagikan uang kepada kerabat. Apa kata mereka nanti? Aku pasti dikira tak tahu diri jika sepeser saja tak kuberikan pada mereka atau anak-anak mereka.Tentu, setelah kuhitung berulang-ulang sejumlah lainnya bagian Ibu, adikku yang masih SMA, dan kakak perempuanku.

Ah, ternyata aku lupa menyisihkan jatah untuk  Vivian, teman perempuanku yang sebentar lagi akan kuperistri. Aku harus membelikannya berbagai macam barang yang ia suka. Ia anak seorang pengusaha batu bara. Oleh karenanya, aku tak mau sembarangan dalam hal membelikannya sesuatu. Maka setelah kuhitung ulang lagi, uang untuk saudara-saudaraku di kampung, akan kukurangi barang sepuluh persen tiap orang. Kutambahkan untuk bagian Vivian. Ah, gadis itu memang memukau hatiku.

Kuharap aku bisa tidur nyenyak malam ini. Selain tak mau terlambat sahur, jatah tidurku beberapa malam terakhir memang terkuras untuk lembur di kantor. Sampai-sampai, dua kali panggilan Vivian lewat telepon kuakhiri dengan terpaksa. Dari nada suaranya, ia terdengar amat kecewa, tetapi sungguh pun aku berusaha mencuri waktu, aku tetap tak bisa melayaninya jika sudah mengobrol di telepon yang biasanya lebih dari satu jam. Malam kemarin, aku malah mematikan ponselku. Sedang ada rapat terakhir sebelum cuti Lebaran. Aku tak mau dianggap tak menghargai atasanku.

Barangkali karena terlalu bahagia,  sampai pukul satu dini hari, mataku masih membuka. Padahal biasanya, pukul sepuluh lewat sedikit saja, aku tak tahan untuk merebah di kasur. Apalagi setelah kecapaian pulang lembur. Sembari tiduran, aku membayangkan pernikahanku dengan Vivian yang akan digelar tak sampai tiga bulan ke depan. Pesta mewah tentu menjadi hal wajib. Relasi-relasi papanya akan berdatangan. Pundakku tentu akan ditepuk banyak orang. Rasa bangga perlahan berkecamuk dalam diriku. Orang-orang sekampungku tak mungkin tidak membicarakan pernikahanku. Acaranya pasti menjadi buah bibir ibu-ibu di warung. Burhan, temanku di kampung yang sampai sekarang masih melajang, tentu akan meradang. Pasalnya, dialah yang dulu sering mengejekku tersebab aku tak pernah punya pacar semasa kuliah.

Vivian sudah kuajak ke kampung bertemu dengan Ibu dan saudara-saudaraku. Mereka amat senang, akhirnya, aku akan memperistri seorang anak pengusaha. Yang membuatku lebih girang bukan kepalang, Vivian berkata, ia sering menelepon Ibu menjelang berbuka atau sekadar mengirim sms pada kakak perempuanku. Itu tandanya, hubungan antara Vivian dengan keluargaku berjalan baik.

“Kamu yakin akan menikahinya, Pram?” tanya Ibu selang beberapa bulan setelah kukatakan padanya aku akan menikahi Vivian. Sudah kuduga hal semacam ini akan tiba. Ibu ragu aku akan dipilih sebagai menantu oleh seorang pengusaha kaya raya.

“Apa yang Ibu ragukan? Bukankah Ibu pernah bilang, jodoh sudah digariskan?”

“Ya, tetapi pilihan selalu ada,”

“Aku sudah memilih apa yang seharusnya kupilih, Bu.”

*

PAGI ini aku berkeinginan untuk mengajak Vivian ke toko perhiasan. Kutebak ia akan suka. Apalagi sekarang sedang marak berbagai perhiasan dengan sepuhan berlian. Kulit putih Vivian pastilah pas untuk dipakaikan cincin. Mata cincinnya akan berkilauan di jarinya yang manis. Tapi, mendadak niat itu kuurungkan setelah telepon dari atasanku kuterima.

“Bisa ke kantor sekarang?”

“Untuk apa, Pak? Bukankah sudah cuti?”

“Ada hal yang ingin kubicarakan. Penting!”

Kutancap gas. Mobilku kupaksa berdesakan di antara riuh kemacetan. Aku berharap kedatanganku tepat waktu. Aku tak mau atasanku terlalu lama menunggu.

“Ini untukmu,” kata atasanku begitu kusandarkan tubuhku di kursi kerja. Sebuah amplop tergeletak di meja. “Itu tunjangan lemburmu selama puasa. Teman-temanmu sudah kuberi saat masuk terakhir. Kau ingat, waktu itu kau kusuruh bertemu relasi di hotel.”

Ah, betapa senangnya.  Rasanya, nikmat Tuhan tak henti-hentinya kuterima. Mungkin benar kata Ibu, Ramadan selalu berlimpah kemuliaan. Aku jadi menyesal teringat kemarin. Saat laporan tak kunjung kuselesaikan, kubalas sms Ibu. Kukatakan padanya aku tengah berjamaah Tarawih di masjid. Padahal aku tengah berjibaku dengan tugas kantor.

*

RENCANA kuubah. Niatku pergi membeli berlian dengan Vivian, kuganti dengan Anita. Ia teman sekantorku sekaligus teman baik Vivian. Aku ingin meminta pendapatnya tentang apa-apa yang disukai Vivian. Lepas pukul sembilan, kuajak Anita ke toko yang ia maksud. Maka benar saja, pelayan tokonya begitu ramah padaku dan padanya.

“Calon suami ya, Mbak Nita?” goda seorang pelayan yang berdiri di depan jajaran kalung model panjang. Seketika itu aku teringat calon mertuaku. Ia pasti suka jika kubelikan sebuah. Ya, meskipun ia berjilbab, untaian kalung sering kulihat tergantung di luar penutup kepalanya.

Anita hanya tersenyum. Aku tak menanggapi. Mataku terus mencari-cari. Kulihat satu yang menarik. Cincin putih kecil dengan mata satu berbinar. Saat hendak kuminta pendapat Anita, ia lebih dulu bertanya.

“Tabunganmu pasti banyak ya, Pram. Sampai calon mertuamu juga kau belikan,”

“Ini hanya uang tunjangan kemarin, Nit. Oh ya, uangmu kaugunakan untuk apa?”

“Kuberikan pada Ibu,”

“Bukankah terlalu banyak jika semuanya?” tanyaku.

Lalu, betapa kagetnya ketika  kudengar Anita tak mendapat uang yang kemarin baru saja kudapat.Uang tunjangannya—yang ia terima sebelum cuti—tak lebih dari seperlima dari jumlah uangku kemarin. Mendadak kepalaku terasa berat. Pikiranku dipenuhi Pak Dirja, atasanku. Beberapa bulan yang lalu, atas jasaku, aku berhasil mendapatkan simpati warga untuk memilihnya di pemilihan pejabat daerah. Dan, uang yang kemarin itu ... Ya, Tuhan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun