Kentrung Ibu Kota
Oleh: Latif Nur Janah
Digenggamnya kentrung itu dengan kedua tangannya. Melindunginya dari rintik hujan yang mulai turun bak pasukan perang yang seketika itu juga berubah menjadi lautan di tengah jalanan. Trotoar tak lagi kelihatan, bahkan baliho di pinggiran jalan nampak sedikit meliuk tertimpa angin.
Masih erat di tangannya kentrung itu, satu-satunya senjata untuk hidup di kota yang banyak dianggap orang sebagai sumber kehidupan, sumber kejayaan. Nyatanya, bagi dirinya sendiri, kota itulah asal muasal dirinya menjadi seperti ini.
Bersama puluhan bahkan ribuan anak-anak yang nyaris sama dengan dirinya, yakni anak-anak yang tak lain dan tak bukan adalah anak yang terbuang atau tepatnya dibuang, bahkan tak diinginkan keberadaannya, ia mengarugi nasib, berharap sejengkal keberuntungan akan ditemuinya dalam setiap langkah kakinya. Atau jika ia sedang sial, ia akan dihadiahi sebuah peluit panjang yang mau tak mau menyuruhnya untuk lari secepat kilat. Toh apapun yang dialaminya di kota ini, tubuh dan jiwanya seakan tak mau untuk meninggalkannya. Apalagi setelah hatinya dengan gamblang menyadari jika keberadaannya di hati ibu dan bapaknya tak pernah diinginkan akibat pernikahan yang tak pernah terwujud.
Kini, setelah sekian tahun ia berdiri di kakinya sendiri, menapaki setiap langkahnya tanpa ada yang mengayomi, setitik keinginan pun tiba- tiba meliuk perlahan di benaknya, seolah liukan itu perlahan menjadi kencang dan semakin besar. Kerinduan akan sosok ibu dan bapaknya membuncah meskipun hanya sampai pada saat ia mampu menepis rasa itu lagi.
Hujan masih terus mengganjar bumi yang kering. Entahlah, ia sendiri tak tahu apakah di kampunya-yang sudah belasan tahun lalu ia tinggalkan-sedang hujan atau tidak, mengingat ini musim kemarau. Tapi, lain ceritanya di kota yang ia tinggali sekarang ini. Air tak lagi peduli pada musim. Panas tak menghalanginya untuk mengguyur bumi. Toh kalaupun banjir tak datang dari hujan, kota itu akan selalu mendapat kiriman dari sungai, dengan oleh-oleh khas sampah dan bau anyir. Namun, apalah gunanya menyalahkan hujan dan banjir, nyatanya sampah yang menjamur di bantaran sungai tak lain dan tak bukan berasal dari manusia-manusia kota itu.
Dibenahinya lagi lipatan celana panjangnya. Celana yang tak lagi bersih apalagi rapi. Ia rapatkan tubuhnya dia antara jejalan manusia yang berebut secuil tempat untuk berteduh. Hujan selalu ampuh untuk menjadikan manusia saling menyalahkan. Seorang lelaki paruh baya di sebelahnya, memaki-maki lewat telepon yang digenggamnya hanya karena anaknya telat menjemput hingga ia terpaksa berteduh di antara rombongan manusia itu. Seorang perempuan muda dengan sepatu hak tingginya, tak berhenti mencaci-entah siapa yang dicaci-hanya karena gaun yang dipakainya kotor terciprat lumpur. Dan ketika sebuah sepeda motor melaju layaknya dipacu dengan kecepatan paling tinggi lewat di depan mereka, perempuan muda itu menjerit sembari melemparkan sumpah serapah kepada si pengendara motor, lagi-lagi hanya karena lukisan lumpur di gaunnya bertambah lebar ban lebih bermotif.
Ia, bocah yang setia menggamit kentrungnya ke manapun ia melangkah, berjinjit-jinjit untuk sesekali melihat teman-temannya sudah datang atau belum. Dua jam lalu mereka berpisah, seperti biasa di tempat yang sama pula setiap harinya. Lalu, seperti sudah menjadi agenda harian mereka, satu atau dua jam setelah itu, mereka berkencan untuk bertemu di tempat di mana mereka berpisah. Setiap jalan bahkan gang-gang kecil di tempat itu, mereka sudah hafal betul. Tapi, hampir bosan ia menunggu, bahkan satu orang pun dari temannya tak muncul juga. Sekarang, sudah hampir genap sepuluh kali ia melongokkan kepalanya di antara orang-orang yang lebih tinggi darinya untuk mengecek. Hampir saja ia terjungkal ke depan ketika Sidrat, seorang temannya muncul dari belakang dan mendorong tubuhnya.
“Dapat banyak?”
“Ah, ternyata kamu, Drat. Cuma sepuluh ribu perak.” bocah bernama Bahrul itu merogoh saku celananya,menunjukkan sudut lembaran uang sepuluh ribu kepada Sidrat.