Matahari belum sepenuhnya muncul. Hanya suara ayam yang samar terdengar di antara riuh kendaraan di kejauhan. Minah telah bersiap dengan bakul besar yang akan ia gendong ke pasar.
Pasar Gemolong terletak dua kilo meter dari rumahnya. Jarak itu tak seberapa jika dibandingkan dengan jarak yang dulu harus ditempuhnya ke pasar Kacangan. Dengan kaki beralas sandal jepit satu-satunya yang ia miliki, ia setia menapaki jalan Solo-Purwodadi. Sebenarnya, Siti bisa saja mengantarnya sebelum berangkat sekolah.
“Nanti saya antar, Mak.” ucap Siti. Bungkusan dari daun pisang sudah terkumpul. Selesai membungkus tape menir buatan emaknya, ia mengemasnya ke dalam bakul.
“Tidak usah. Emak enggak mau kamu telat sekolahnya.”
Minah berjalan di pinggiran jalan raya. Tentunya dengan debu yang siap terbang dihempas kendaraan yang lalu-lalang. Sebotol air putih telah terselip di antara bungkusan tape di dalam bakul. Hanya sebotol kecil untuk berjaga-jaga saat ia haus daripada harus membeli es cincau seharga seribu lima ratus. Uang itu bisa ia gunakan untuk membeli ragi yang ia pakai untuk tapenya esok hari.
Berjalan dari rumahnya ke pasar Gemolong tak jarang membuat pinggang tuanya letih, pegal. Minah sudah menjanda sejak tiga tahun lalu. Siti adalah anak perempuan satu-satunya, sementara kedua anak laki-lakinya bekerja di Jakarta sebagai buruh bangunan. Meskipun setiap bulannya ia mendapat kiriman dari Sur dan Sum, ia tak mau mengandalkan uang kiriman itu. Uang itu ia gunakan untuk biaya sekolah Siti sementara uang hasil jualan tapenya, ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Malam itu, entah apa yang membuat pinggangnya begitu letih, Minah memutuskan untuk tidur sejenak. Bungkusan tapenya masih dapat separo, sementara yang separo lagi masih utuh di dalam tampah. Siti sedang belajar di kamarnya sendiri.
Ketika Siti keluar dan mendapati ibunya berbaring di lincak yang berada di dekat pintu kamarnya, ia lantas meneruskan bungkusan-bungkusan tape yang belum tertata. Ia tahu hanya dialah yang bisa membantu emaknya di rumah, kedua kakaknya sudah cukup baik mau membiayainya sekolah. Sebenarnya dulu, Paimin, suami Minah, melarang Siti untuk melanjutkan sekolah, namun kakak-kakaknya tidak mau menyiakan adiknya karena prestasi yang ia miliki. Paimin sendiri meninggal karena penyakit diabetes yang diidapnya.
Saat itu, kedua kakak Siti bermaksud membawa Paimin ke rumah sakit, namun Paimin tak pernah mau untuk diperiksakan ke dokter. Menghabiskan uang, elaknya. Apa boleh buat, keluarga pun tak bisa berbuat banyak hingga akhirnya Paimin meninggal.
Di rumah yang lebih pantas disebut gubuk itu Minah dan Siti tinggal, dengan genteng yang selalu siap jatuh ketika angin bergermuruh atau tanah yang lembab ketika hujan datang. Semua itu tak pernah membuat mereka berserah pada keadaan. Minah, wanita tua yang selalu tersumpal sirih di mulutnya itu, tak pernah mengeluh di hadapan orang lain, pun dengan anak-anaknya sendiri meskipun tak jarang kiriman dari Sur dan Sum terlambat datang hingga ia tak segan untuk berhutang.
Siti sampai pada bungkusan terakhir ketika jarum jam berderak menelusuri angka-angka yang semakin bergerak turun pada dinding bambu rumahnya. Jarum jam menunjuk angka sebelas. Ibunya sudah angkler hingga nyamuk yang berseliweran tak dirasa mengganggu.